Hari ini dan esok, kesibukan dan keriangan Anda ditambahi kerepotan berponsel. Saat bersilaturahmi pun mungkin Anda hanya mampu menyenyapkan ponsel. Tetamu Anda juga tak terlepas dari ponsel.
Apakah mereka yang mengalami hari raya sebelum ada ponsel — bahkan sebelum ada ponsel generasi awal menelepon dan ber-SMS tetapi layanannya masih mengenal roaming, dan SMS belum dapat lintas operator — lebih berbahagia? Belum tentu.
Setiap zaman mengenal kegembiraan masing-masing dalam hari raya, bahkan tatkala perjalanan lebih melelahkan daripada sekarang.
Selamat berlebaran, maafkanlah saya.
Tabik.
4 Comments
Perihal sebagian besar masyarakat yang tidak bisa lepas dari layar ponsel ketika sedang bertatap muka, saya menganggap itu adalah kebebasan individu. Selama mereka memahami konsekuensinya, silakan saja.
Namun, kalau saya sendiri lebih senang untuk melepaskan pandangan dari ponsel ketika sedang bertemu dengan orang lain. Bagi saya, mereka yang memiliki niat bertemu secara langsung sudah sepatutnya untuk dihargai dengan cara menganggap “keberadaannya”.
Dalam hal ini, saya tidak akan memegang ponsel ketika sedang berinteraksi dengan lawan bicara. Jika ada urusan mendadak, maka itu lain soalan.
Yah begitulah.
Soal kebiasaan dan nilai-nilai termasuk etiket.
Misalnya menelungkupkan ponsel atau manaruh ponsel saat ngobrol. Kalo ada tag penting pasti orang lain menelepon.
Selain itu ada tone khusus untuk orang rumah kalau kirim WA dan nelepon.
🙏😇
Ponsel saya selalu saya setel silent/senyap, dan secara berkala (sering) saya cek saat enggak sibuk. Kalau sedang ketemu orang (kawan, saudara dll.) saya jarang cek ponsel.
Kalau saya sedang ketemu orang, jarang cek ponsel, dan kemudian ada hal penting (dari istri), dia biasanya menghubungi/menelepon ke ponsel Nokia djadoel saya yang tidak bisa untuk Internet, termasuk WA.
Inilah menariknya feature phone atau ponsel biasa, yang sekarang masih dijual. Hanya bisa SMS dan nelepon.
Ada demonstran yang menganjurkan ponsel gaya jadul ini sebagai pelengkap