“Waktu bikin SIM kemarin, awakmu nulis kerjaan apa?” tanyamu.
Kukatakan karena tidak boleh menulis pengangguran maka aku memilih mengisi pensiunan. Lebih diterima. Lebih gagah.
Ingatan tentang jenis pekerjaan itu muncul saat aku melewati pagar sebuah taman. Ada kertas terlapisi plastik berisi iklan les privat bahasa Inggris. Di tiang listrik maupun telepon sering ada iklan sejenis; ada les bahasa Arab, Mandarin, Korea, dan Jepang.
Aku juga ingat pertanyaanmu, kenapa aku tak menyebut diri penulis. Aku menggeleng, lalu aku sebutkan dua alasan.
Pertama: aku bukan seorang penulis atau author. Memang aku pernah bekerja lama di bidang yang berurusan dengan penulisan. Disebut pengarang aku juga tak mau, karena pengarang seakan-akan hanya mereka-reka dalam konotasi lancung. Memang sih sastrawan juga disebut pengarang, namun bercitra terang.
Kedua: dalam daftar pekerjaan yang diakui Dukcapil Kemendagri tak ada penulis. Yang ada malah tukang batu, tukang listrik, tukang kayu, tukang sepatu, tukang las, tukang gigi, dan masih banyak lagi. Aku tak berani mendaku profesi itu karena khawatir akan dimintai tolong.
Ada pula yang tak semua orang boleh menyebut diri dengan pekerjaan ini: presiden dan wakil presiden. Kalau pilihan pekerjaan sebagai anggota DPR ada, tetapi tersedia stok ratusan orang yang berstatus serupa. Aku tak berhak mendaku anggota parlemen, apa pun citra para poli-tikus dalam benak khalayak.
Dan kau bertanya lagi, adakah pekerjaan yang dekat penulisan? Kujawab ada: seniman dan penerjemah. Namun kedua bidang itu tidak aku kuasai. Bahkan, lagi-lagi, misalnya ada opsi penulis pun aku takkan memilihnya karena aku bukan penulis.
Lantas kau berbelok topik, apakah aku tak ingin membuat pelatihan menulis, maksudmu menulis kreatif tak hanya untuk blog?
Aku terpingkal-pingkal tetapi setelah itu malu. Rupanya kau tahu pada masa blog dulu disukai orang, aku kerap tampil di sejumlah acara. Dibayar pula, tetapi banyak yang gratis, yang pasti diberi aneka fasilitas, dari transportasi hingga akomodasi termasuk makan minum.
Beberapa kali semuanya ditanggung kantorku, termasuk mentraktir orang. Ada sih yang mewah untukku: misalnya menginap di Sheraton Senggigi Beach, tentu dengan bayaran layak, tak dipotong pajak, karena dibiayai CSR perusahaan.
Tetapi ada hal yang dirimu tak tahu. Akhirnya dulu aku merasa malu terhadap diri sendiri, bahkan aku pangling terhadap diriku. Aku merasa sebagai lagu yang diputar ulang terus, hanya berbeda aransemen, dan dikenali banyak orang membuatku tak bebas saat mengudap di kedai bagus maupun warung tenda, saat dulu berada di toko buku dan toko CD maupun maupun berjongkok di lapak barang rombeng.
Selain itu ada pula perasaan gagal. Saat itu banyak peserta bertanya bagaimana cara menjadi tenar, atau malah ini yang aneh: tidak perlu tenar sebagai diri sendiri namun blognya sebagai kebun SEO topi hitam bisa menggaet cuan dari iklan. Harap diingat, saat itu kreator konten video belum tumbuh.
Dua kebutuhan itu, tersohor dan atau uang, tak aku pahami. Bahkan topik personal branding pun bukan hal yang menyenangkan bagiku, karena seolah-olah aku harus memformat diri menjadi pribadi yang lain, padahal dalam hidup setiap orang pasti terpaksa menyesuaikan diri dengan orang lain.
Untunglah ada banyak ahli untuk penulisan kreatif, personal branding, dan memainkan SEO yang dulu penting banget sampai kemudian Google tak mau senjata makan tuan dan puan. Para praktisi hebat itu lebih layak daripada aku.
Lalu belakangan setelah aku terlupakan aku pun merasa menjadi diri sendiri. Lebih bebas. Lebih nyaman. Tak ada lagi jengah terhadap diri sendiri saat mendapati nama dan fotoku ada dalam promosi acara, yang menjadikan diriku kameo semu pelengkap senarai pembicara.
Jadi kenapa harus membuka pelatihan yang memalukan dan gagal pula?
Aku bukan penulis. Bahkan blog ini pun tak meraih trafik layak.
Aku ingat teman kita yang jujur, dia pernah mengatakan kepadaku di depanmu, “Akun sampean di X aja cuma diikuti puluhan orang, engagement rendah. Kalo sampean nulis di FB kayak dulu bakal banyak yang baca, karena banyak yang nge-share.”
Kau juga ingat kata teman kita itu. Kali ini kau sentil diriku, “Nggak usah pake dalih karena awakmu bukan penulis. Ini soal sosial atau asosial, pede atau celingus.”
Aku merasa jadi terdakwa untuk kesalahan yang tak aku lakukan. Bukankah pilihan jalurku tak merugikan orang lain?
4 Comments
Baiklah, Paman, baiklah….
BTW, kolom pekerjaan di KTP tertulis apa, Paman?
Lha ya pensiunan 😂
KTP saya masih tertulis WARTAWAN 😁 dan itu KTP berlaku seumur hidup
Top tenan! 💐👍👏