Maaf judul saya bombastis, seperti pemancing klik. Saya hanya ingin meringkas salah satu sudut pandang dalam melihat kasus pabrik Sritex (PT Sri Rejeki Isman Tbk), Solo, Jawa Tengah. Per hari ini (Sabtu, 1/3/2025), Sritex yang berusia hampir 60 tahun itu tutup setelah dinyatakan pailit. Pokok masalah dibahas di semua media, tidak saya ulang di sini. Maka Sritex harus mem-PHK buruh. Sebagian media menyebutkan jumlah buruh 10.965 orang, merujuk keterangan Wamenaker Immanuel Ebenezer. Kalau dibulatkan menjadi 11.000 orang. Kompas menyebutkan sekitar 12.000 orang.
Menurut Dirut PT Sritex Iwan Kurniawan Lukminto, “[…] Tercatat di Sritex ada sekitar 8.000 karyawan, kemudian ditambah dengan (tiga perusahaan) yang lain, mungkin sekitar 12.000 orang secara total.” (¬ Kompas, 1/3/2025).
Sritex berdiri di atas lahan 79 hektare di Desa Jetis, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo — bukan di Kota Surakarta, namun bagian dari aglomerasi Solo Raya. Tentu tak semua karyawan Sritex tinggal di Jetis. Mereka menyebar, ada yang bermukim di luar Sukoharjo.
Menurut data Dinas Kependudukan Pemkab Sukoharjo, jumlah penduduk Jetis pada semester pertama 2024 adalah 9.525 jiwa — tentu termasuk balita dan lansia. Artinya, jumlah karyawan Sritex yang di-PHK melebihi jumlah penduduk desa tempat pabrik berdiri sejak 1992. Sritex bermula dari Pasar Klewer, Surakarta, 1966.
Ekonom Indef, M. Rizal Taufikurahman, berpendapat industri padat karya sedang kesulitan. Salah satu penyebab utamanya ialah kebijakan ekspor dan impor yang tidak berpihak pada industri dalam negeri. Misalnya impor tekstil murah dari Cina dan Vietnam yang membanjiri pasar domestik. Itu pun masih ditambah masuknya barang ilegal dan pakaian bekas impor.
¬ Infografik: Kompas