Ikut menguap tanda empati, bagaimana proksimitas psikologis dalam foto?

Foto bagus ada di Instagram dan Freepik. Media berita tinggal comot.

▒ Lama baca 2 menit

Foto anak menguap dan kondisi jurnalisme Indonesia — Blogombal.com

Sekian waktu lalu saya membuat tangkapan layar artikel dengan ilustrasi anak menguap. Saya terkesan. Dan langsung menebak foto dalam Kompas itu pasti dari arsip. Lalu saya cari di mana saja pemuatannya.

Foto anak menguap dan kondisi jurnalisme Indonesia — Blogombal.com

Foto anak angop atau menguap — dari kata dasar “kuap”, bukan “uap” — pertama kali muncul dalam Galeri Foto, rubrik Fotografi, edisi 17 Juli 2023, jepretan Fakhri Fadlurrohman. Saya cari arsip lain, ternyata ada sejumlah foto anak sekolah sedang angop.

Foto anak menguap dan kondisi jurnalisme Indonesia — Blogombal.com

Dalam artikel awal Februari di Kompas itu, terkutipkan artikel dari Psychology Today (12/1/2025) bahwa sebanyak 40-60 persen orang akan menguap ketika melihat orang lain menguap. Perilaku ini telah diamati pada manusia dan spesies hewan, seperti anjing peliharaan, simpanse, kera, dan burung beo.

Foto anak menguap dan kondisi jurnalisme Indonesia — Blogombal.com

Tetapi bukan soal angop yang akan saya bahas ulang di sini, melainkan foto jurnalistik. Lagi-lagi kekhawatiran saya sama: makin banyak media berita enggan, bahkan malas, menghasilkan foto yang kuat.

Saya khawatir jika alasan redaksi adalah pembaca tidak butuh dan tak peduli foto bagus. Tak perlu memuat foto bagus hasil karya sendiri, maupun karya pihak lain secara legal, kalau tak menambah trafik.

Dalam bahasa juragan media: jangan buang duit untuk menggaji lebih dari satu pewarta foto dan membeli peralatan fotografi yang layak kalau tak menghasilkan cuan. Kalau bisa main comot foto kenapa mesti keluar duit?

Foto anak menguap dan kondisi jurnalisme Indonesia — Blogombal.com

Tadi dalam judul saya sebut proksimitas psikologis. Mungkin istilah itu mengada-ada. Maksud saya, dalam berita ada unsur kedekatan konsumen berita dengan subjek, bisa geografis dan bisa pula psikologis.

Untuk orang Jakarta, berita Pram-Doel punya kedekatan geografis dan sekaligus psikologis. Adapun berita pebalap MotoGP Fabio Di Giannantonio alias Diggia untuk berlaga di Thailand pekan ini secara geografis jauh bagi pembaca di Cangkringan, Sleman, DIY. Namun bagi warga sana yang menggemari otosport, terutama motor, ada kedekatan psikologis.

Di sisi lain, misalnya ada berita pegolf dunia di Merapi Golf, juga di Cangkringan, meskipun secara geografis dekat dengan warga sekitar tetap tidak penting karena secara psikologis jauh dari minat warga yang menggemari MotoGP.

Nah, termasuk dalam proksimitas adalah foto dalam berita. Sejumlah foto anak menguap ini menarik karena berwajah Indonesia. Serasa melihat anak tetangga.

Tentu bukan hanya foto anak. Mengunyah sirih atau menginang adalah tradisi lama di Asia Tenggara. Berapa banyak media Indonesia yang punya foto orang menginang pada masa kini? Kalau yang menampilkan foto tempo doeloe zaman Belanda saya pernah melihat.

Indonesia modern: masih ada perempuan menginang — Blogombal.com

Namun dari foto era kolonial, misalnya koleksi KITLV dan Tropenmuseum, kita melihat sejarah: ada anotasi. Dalam foto jurnalistik juga ada anotasi, malah bank foto jurnalistik digital, seperti Antara Foto, infonya lebih lengkap, memuat EXIF.

Halah, gitu aja dibahas. Baiklah. Kini lihatlah aneka foto ilustrasi di media berita daring kita. Dari artikel kesehatan, kuliner, pengasuhan anak, hingga seksualitas dan kesehatan reproduksi yang Anda baca, berapa banyak yang menampilkan wajah Asia? Sering kali malah wajah Kaukasian — tolong Anda koreksi jika istilah ini sudah usang.

Dulu, di sebuah media, seorang editor visual beberapa kali mengingatkan penulis artikel yang gemar memakai wajah bule untuk ilustrasi artikel agar sebisanya cari wajah Asia, bahkan Melayu dan Indonesia, dari bank foto berbayar yang dilanggani redaksi, salah satunya Shutterstock.

Kata sang editor, “Saya bukan rasis maupun anti-multikulturalisme, tapi orang ngeliat foto didasari kedekatan perasaan, proksimitas psikologis. Liat aja pagar proyek apartmen dan mal di Jakarta, isinya gambar orang Asia semua, bukan black American. Media Amrik bisa pake foto bermacam ras, tapi coba liat media Barat yang negerinya nggak sekaya Amrik secara multikultural multietnis.”

Jadi apa masalahnya? Ketersediaan foto berwajah lokal. Bisa arsip foto jurnalistik, termasuk dari Antara Foto yang berbayar, namun sayang banyak media malas menghasilkan foto sendiri yang bagus. Bisa juga foto dari bank foto berbayar macam Shutterstock maupun freemium — ada yang gratis, ada yang bayar — seperti Freepik.

Adakah cara lain? Bagi media malas, tinggal comot dari media lain, dalam negeri maupun luar negeri, tanpa permisi atas nama payung “pemakaian untuk kepentingan yang wajar”. Padahal laman medianya di layar ponsel berjejal iklan sampai merepotkan mata pembaca.

Buku Matinya Kepakaran, Tom Nichols — Blogombal.com

Eh ada cara lain, ding. Ambil saja foto yang sesuai dari Instagram. Inilah era Matinya Kepakaran (Tom Nichols, 2018). Secara sinis kita boleh menafsirkan: jurnalis, termasuk jurnalis foto, itu masa lalu. Ini era media sosial, bukan era organisasi berita. Masyarakat kian pintar dan kreatif.

Masa depan foto jurnalistik Indonesia — Blogombal.com

Tinggalkan Balasan