Kalau koruptor dihukum mati, urusan suapnya lebih jumbo

Untuk menggagalkan hukuman mati, para pendukung akan jadi bohir sogokan.

▒ Lama baca < 1 menit

Hukuman Russian roulette untuk koruptor Indonesia — Blogombal.com

Minggu sore, forum di bawah pohon mangga itu masih ramai perdebatan soal hukuman mati untuk koruptor.

“Itu cara paling mujarab untuk menghentikan korupsi di Indonesia!” kata Tony Blaik sambil mematikan puntung rokok di asbak.

Lalu muncullah aneka fantasi liar yang akan membuat pegiat HAM menangis. Apalagi ada yang berprinsip untuk koruptor tak ada HAM karena mereka sudah bukan manusia, tetapi hewan juga bukan.

Amir Khamir berfantasi hukuman mati dilakukan oleh istri atau suami terpidana dengan rulet Rusia. Revolver disatukan kukuh dengan tiang besi, tidak dapat dicabut maupun dibelokkan arahnya. Tarikan picu hanya selesai setelah satu-satunya pelor menembus kepala koruptor. Jumlah putaran silinder tak perlu dihitung.

“Itu biadab!” kata Paul Kemul.

“Nggak. Soalnya istri atau suami menjadi penadah hasil korupsi. Anak-anaknya yang sudah dewasa juga,” Hari Baut membela gagasan mengerikan itu.

“Meskipun itu misalnya diatur oleh hukum, tetap biadab, mengkhianati perikemanusiaan,” kata Tedi Beruang.

“Gimana, Mbah Har?” tanya Rudi Kolor.

Mbah Haris segera berpidato, “Pertama, gagasan biadab ini ngaco. Kedua, dalam negeri korup, hukuman mati untuk koruptor akan menggerakkan suap yang lebih gede, superjumbo, menembus semua lini. Bahkan sebelum putusan hukum final maupun sebelumnya lagi, misalnya di tingkat penyidikan dan dakwaan, dimainkan supaya nggak ada vonis hukuman mati. Ronald Tannur saja divonis bebas di pengadilan tingkat pertama. Bukan kasus korupsi sih.”

“Untuk menghindari vonis hukuman mati, para pendukung korupsi akan patungan. Menyelamatkan satu orang demi orang sekaum,” Roni Jarak berskenario.

“Atau di tingkat pemberkasan awal cuma pingpong, ujung-ujungnya bebas demi hukum soalnya orang nggak bisa jadi tersangka seumur hidup, atau dia menang di praperadilan,” celetuk Mas Dimas, hadirin termuda.

“Korupsi nggak bisa abis, dong. Gimana Pak Kam?” tanya Pakde Toni.

“Kabur aja ke luar negeri. Yang masih kuat, suami istri pindah ke desa Jepang, jadi buruh tani,” jawab Kamso.

“Tapi di sana kita kan nggak bisa bikin provinsi Indonesia, semacam negara bagian Hawaii yang terpisah dari kontinen Amerika,” sergah Tomas Pasar.

Mbah Hardi Aki yang sedari tadi diam membisiki Kamso, “Orang kalo frustrasi bisa aneh mikirnya, Mas…”

¬ Ilustrasi: Flipkart

Mari menistakan keluarga koruptor — Blogombal.com

Tinggalkan Balasan