Tabung gas jambon 5,5 kilogram itu datang siang tadi. Dikirim oleh warung Tarigan. Seperti biasanya, kurir membawa secarik nota pembayaran yang akan dia tukar dengan uang senilai tagihan. Nota ini dari kertas bekas. Hemat. Praktis. Cukup dengan tulisan tangan. Tanpa stempel, paraf, maupun tanda tangan.
Mungkin ada yang tak beres dalam diri saya. Kadang tergerak untuk iseng memperhatikan hal-hal sepele. Lebih dari seorang pernah menanya apa manfaatnya bagi saya memperhatikan hal-hal tak penting. Saya tak dapat menjawab. Saya mencoba mengingat, waktu kecil saya kadang melakukan hal macam ini.
Setelah dewasa, tepatnya tua, saya menganggap nota bertulisan tangan sebagai artefak di tengah pasar berteknologi digital. Entahlah sampai kapan kertas macam ini ada. Pada 2045, saat perayaan sentenial Indonesia, nota macam ini mungkin juga masih ada, dalam kertas bekas.
Kalau bicara teknologi digital, gas jambon ini saya pesan dengan memanfaatkan WhatsApp berupa percakapan lisan, tanpa gerbang pembayaran maupun administrasi transaksi. Tak beda dengan saya datang sendiri ke warung, namun harus membawa pulang sendiri, dan tanpa nota.
Nyatanya, saat memesan gudeg via Gofood dan membeli alat listrik di Tokopedia, membayar dengan Gopay, saya juga menerima nota pembayaran dengan tulisan tangan.
Tentu saya tak mungkin, dan tak ingin, menyimpan artefak macam ini. Namun fotografi digital dan blog membantu mencatatnya, entah sampai kapan, kecuali Wayback Machine juga menyimpannya. Kelak pada 2045, misalnya nota macam ini sudah punah, anak-anak sekolah mungkin perlu tahu. Sekali lagi: Mungkin.
Siapa tahu bisa untuk membandingkan gaya tulisan tangan orang Indonesia era Proklamasi 1945, 2020-an, dan 2045.