Tajuk Rencana Kompas (Sabtu, 8/2/2025), tentang rencana merger GoTo (Gojek Tokopedia) dan Grab, versi koran tentu tak memuat foto. Namun dalam versi aplikasi dan web ada gambarnya. Nah, gambar andalan (featured image) untuk opini redaksi tentang hal itu bagi saya menarik. Tampak dua tukang ojek, masing-masing dari Grab dan Gojek, berdampingan.
Sebagai foto lepas, entah hasil jepretan siapa dari arsip kapan, karena foto andalan di banyak media daring tak menyertakan info — bandingkan dengan cara Reuters (¬ lihat gambar dalam arsip, 6/2/2025) — foto di atas biasa saja. Terlalu polos, hasil jepretan saat cuaca tak ramah bagi lensa, seolah tanpa pengeditan agar lebih kontras wajar.
Tetapi ketika menjadi gambar andalan untuk artikel merger Gojek dan Grab, foto tersebut menjadi kontekstual, bersesuai dengan pokok soal. Dalam Tajuk Rencana juga ada foto lain, tentang kerumunan tukang ojek. Foto yang biasa, kurang menarik. Mata sulit membedakan Gojek dan Grab.
Kapsi foto Tajuk Rencana Kompas:
Ojek daring menunggu orderan penumpang di depan Stasiun Palmerah, Jakarta, 22 Januari 2020.
Soal foto arsip memang merepotkan. Bagi media daring pemain berita sela (breaking news), dengan pacuan penuh gegas, pemerolehan foto harus lekas karena content management system (CMS) pada komputer penulis mensyaratkan gambar.
Jika sebuah media daring tak punya bank foto hasil jepretan sendiri, yang terhubung ke CMS, jalan pintas pun ditempuh: ambil gambar dari arsip berita sendiri atau, ini yang menyedihkan, tinggal comot dari situs apa saja, termasuk blog, tanpa atribusi.
Bank foto eksternal memang ada. Bisa sepenuhnya premium, harus membeli atau melanggani, dan bisa juga freemium, artinya sebagian gratis tetapi gambar tertentu harus membeli, misalnya di Freepik.
Lalu lihatlah gambar dua tukang ojek daring berlainan pelantar di Alamy. Betul, itu foto lama, tersuratkan dalam kapsi: 2018. Logo Gojek pada jaket masih versi pertama. Tetapi apakah media berita daring kita sudi membeli foto bagus macam ini?
Untuk menghormati para editor media saya sengaja menggunakan kata sudi. Memang sih, lelucon di sebagian media berita daring adalah buat apa memasang gambar bagus, harus membayar pula, kalau tak menambah trafik.
Kapsi dalam Alamy:
Jakarta, Indonesia. 29th July, 2018. Online Ojek transportation based application, Grab and Go-Jek. Both are synonymous with green, to attract the attention of consumers. Easy to go anywhere, practical and cheap to avoid congestion. Credit: Kuncoro Widyo Rumpoko/Pacific Press/Alamy Live News
Kembali ke soal arsip foto, saya tak tahu apakah semua dan setiap media berita daring memiliki bank foto yang layak secara operasional. Bank foto bukan sekadar menyimpan foto-foto terseleksi di server, tetapi harus tertata dengan genah. Penamaan berkas foto pun harus sesuai prinsip kearsipan, info perihal gambar lengkap, sejak EXIF sampai kapsi, dan tentu nama fotografer, sehingga tentu saja foto-foto yang relevan mudah ditemukan.
Info foto, seperti dari agensi foto, termasuk Antara Foto, memuatnya secara digital, dapat ditengok dengan mengeklik menu details atau properties pada setiap foto. Jika CMS dan bank foto terintegrasi, kapsi akan otomatis muncul, bisa disunting.
Bank foto berguna untuk keperluan internal maupun melayani pihak luar, dengan menjual maupun courtesy percuma — maksud saya gratis. Pewarta foto Kompas Iwan Setiyawan, dalam laman Klik! (4/2/2025), membahas soal pengarsipan foto, termasuk penamaan berkas: menggunakan format “tahun, bulan, tanggal, dan nama fotografer”.
Intro artikel:
Fotografi digital menghasilkan arsip foto melimpah dan kalau tidak dikelola serta disimpan dengan benar hanya akan menjadi sampah digital.
Andalkah sistem dokumentasi foto Kompas? Saya mengandaikan demikian. Misalnya pun media lain enggan melakukan, hal itu karena bank foto butuh dana. Ini investasi, termasuk demi sejarah, sehingga suatu saat khazanah foto bisa dijual atau dihibahkan kepada lembaga lain yang bersedia mengelolanya.
Foto ikonis Soeharto mengisap cerutu (¬ arsip, 2010), dalam usia 46, pada awal kekuasaannya, adalah hasil jepretan Larry Burrows (1926—1971), untuk majalah Life (Desember, 1967). Ketika saya menulis tentang foto tersebut, saya mengambilnya dari khazanah foto resmi milik Google, saya lupa namanya, masih ada watermark Life.
Foto-foto itu kini, tanpa watermark, ada di Google Arts & Culture, dengan keterangan milik Life Photo Collection. Jika menyangkut foto bersejarah hasil kerja jurnalistik, salah satu foto Bung Karno (dia lebih suka penulisan Sukarno, bukan Soekarno) yang saya sukai adalah dari Ipphos (Mendur Bersaudara): dia berpiama (¬ arsip, 2021).
Kembali ke dokumentasi foto Kompas. Okelah itu andal, best punya. Tetapi saya punya pos berupa anekdot: dulu tim kreatif Klasika, dari bagian iklan Kompas (2013), memanfaatkan foto dari Shutterstock — tentu dengan membeli — padahal redaksi punya bejibun. Saya tak tahu masalah internal mereka, namun satu hal sudah jelas: arsip foto bukan hal mudah.
2 Comments
tetiba langsung berasa nostalgia. photo Bung Karno ini pernah inget tapi tak inget. terimakasih. mestinya Kompas buka rubrik photo lawas begini di pojokan mana begitu.
Iya, mestinya.
Lbb dari sejak muncul, hasil foto mereka sendiri, tapi sporadis.
Foto jurnalistik adaao bagian dari sejarah. Itulah perlunya kejujuran oleh pewarta foto dan media. 🙏