Saya jarang bepergian sejak awal pandemi. Tahun 2023 cuma sekali naik LRT dan KRL. Tahun 2024 juga sekali. Karena naik LRT hanya dari Caman, Kobek, ke Cikokol, Jaksel/Jaktim, dan cuma sesekali, maka kemarin, akhir Januari tahun 2025, saya kagok juga ketika akan ke Stasiun Cawang: harus mencermati rambu.
Intinya banyak yang berubah di Jakarta, sakndilalah saya juga mulai pelupa. Maka tadi malam sekira pukul setengah sepuluh malam, ketika saya naik KRL dari Stasiun Bogor, saya merasa jadi orang udik. Saya gumun melihat cowok berdasi garis dengan setelan seragam SMA dibalut jaket.
Saya tak tahu itu seragam resmi sekolahnya atau dia sekadar bergaya ala K-Pop. Intinya saya tidak paham. Ketika sampai akhir 2019 saya kerap naik KRL, hal macam ini belum pernah saya lihat.
Cowok berdasi itu cakep, pasti disukai cewek yang menyukai cowok rapi tertib yang agak bercitra anak bunda. Ranselnya bagus. Sepatunya juga. Kulitnya bersih, jarinya lentik, dia senyam-senyum saat menatap ponselnya. Sayang tak ada cewek usia SMA di sekitarnya. Di Citayam dia turun. Saya tak tahu apakah dia residu Citayam fashion yang tiga tahun lalu membahana.
Siang sebelumnya, sekira pukul setengah dua, saya naik LRT dari Cikunir. Di seberang saya duduk seorang pria hampir 40, gagah, tegap, berbusana semi kasual yang bagus, namun tak terbaui fragrans yang kuat dengan notes kayu maupun rempah atau sitrus untuk pria. Wajahnya bersih karena perawatan, dalam istilah dua dasawarsa lalu dia mungkin termasuk metroseksual, istilah yang kemudian digantikan uberseksual.
Dalam gerbong yang tak semua kursinya terisi itu dia asyik dengan MacBook di pangkuannya. Ponsel dia letakkan di atas kotak kontrol kereta. Begitu nyaman karena aman dia bekerja. Hal beginian belum pernah saya lihat. Sampai saya turun di Cikoko, dia masih mengetik.
Saya heran dengan itu semua. Artinya saya makin tua, ndesit, dan tertinggal oleh dunia gaya bergaya orang lain. Cewek-cewek penumpang tak ada yang memperhatikan dia.
Mungkin bagi mereka itu hal biasa. Kalah menarik dari apa yang tampak di layar ponsel masing-masing. Bukankah tujuh dari sepuluh penumpang kereta selalu menatap ponselnya? Sisanya tidur atau melamun. Atau mengamati orang lain, seperti saya kalau sedang iseng.
Sayang saya bukan cerpenis maupun penulis skrip film. Penulis yang baik, termasuk jurnalis, biasanya seorang observer yang cermat.