Beberapa hari lalu saya lihat video di YouTube yang kemudian oleh orang lain diteruskan ke X dan menuai beraneka tanggapan.
Video tersebut membahas kecenderungan konsumen dari jelas ekonomi tengah ke bawah menyukai iPhone. Semua sisi dibahas lengkap. Dari snobisme, gengsi, hingga validasi sosial.
Mau pamer apalagi? Karir? Pencapaian? Kesuksesan? Ga ada semua 😅 taunya benda doang
— Cikago Bulus (@kultitts) January 8, 2025
Bagi saya tak salah jika orang menggunakan barang mewah. Maksud saya, mewah itu membayar jauh lebih banyak dari manfaat yang dia peroleh.
Dalam kasus iPhone, kalau tak memanfaatkan semua fitur, tak menghasilkan foto maupun video apik, dan tak mau menggunakan aplikasi berbayar maka hal itu bukan masalah. Mereka tak merugikan orang lain.
Pembantu di rmh saya crrta kemaren ini hadiahin anaknya iphone 15 jt, ga tau ip apa sampe ngutang. Dia blg abis kata anaknya butuh, klo ga ga bs ngerjain tugas.
Hp majikannya aj xiaomi 🗿
— 🗿 (@iseethesunwell) January 8, 2025
Orang butuh gengsi dan pengukuhan dalam beragam cara sesuai kepentingannya. Sebelum ada iPhone dan Android, beberapa teman saya mewajibkan diri punya Nokia Communicator dan kemudian BlackBerry.
Ada yang pengusaha, ada yang pekerja dengan profesi memasarkan jasa komunikasi pemasaran, sehingga harus bertemu banyak orang. Mereka ingin meyakinkan orang lain bahwa dirinya mengikuti kemajuan.
Seorang teman pengguna Communicator hanya memanfaatkannya untuk telepon, SMS, dan kalkulator. Email? Tidak.
Yauda sih, mereka happy happy aja, kok kalian yang judging
— expectlessness (@expectlessness) January 8, 2025
Teman lain, pebisnis kehumasan, 18 tahun silam mengganti semua desktop karyawannya dengan iMac, kecuali untuk bagian keuangan dan dirinya sendiri. Saat itu iMac masih yang berpunggung cembung.
“Buat meyakinkan client kalo agency-ku tuh profesional, Mas,” katanya. Kebetulan dia memiliki kantor baru yang keren. Bukan menyewa. Bisnisnya pun maju.
Oh baiklah, semua contoh pemilikan alat tadi untuk pengakuan sosial demi bisnis, cari duit. Bagaimana jika hanya untuk memperoleh pengakuan dalam pergaulan den media sosial, karena punggung ponsel berlogo apel krowak tertampakkan? Bukan masalah.
Selain demi validasi diri, alasan orang membeli barang mewah adalah mengapresiasi diri sekaligus memanjakan diri.
Belasan tahun lalu, ada kawan yang tak pernah pamer di media sosial maupun kepada teman-temannya bahwa dia punya ruang khusus audio, dengan akustik bagus, untuk menikmati koleksi CD dan piringan hitam. Perangkat audionya bukan kaleng-kaleng, mereknya hanya dikenal pembaca What Hi-Fi. Untuk itu dia harus menabung dan ambil kredit namun dapat melunasi tepat waktu. Perpustakaan pribadi bersama istrinya bisa bikin iri.
Ada contoh lain dan lumrah dalam soal mengapresiasi diri dan memanjakan diri. Apa? Perempuan lajang, tak pernah berkencan, selalu membeli underwear mahal, termasuk lingerie. Padahal itu bukan untuk dia tunjukkan kepada orang lain. Dia suka traveling sendirian dan tak berbagi pengalaman di media sosial karena memang tak punya akun. Bermewah diri tanpa publikasi maupun eksibisi diri.
- Bermewah diri tanpa sesal pada pergantian tahun: Jika tawaran tak diambil akan terbuang percuma. Tapi kalau diambil juga tak berfaedah. Gimana dong?