Tempo bermain melansir

Tempo yang termasuk cermat dalam berbahasa pun bisa larut dalam kesalahkaprahan.

▒ Lama baca < 1 menit

Saya heran, Tempo.co menerapkan kata “melansir” secara salah dalam berita kemarin (Kamis, 9/1/2025). Seolah-olah Tempo.co tak beda dari sejumlah media berita yang sangat merdeka dalam berbahasa, tetapi untunglah tak sampai ikut berputar-putar untuk menahan pembaca demi trafik.

Tempo.co menempatkan kata “melansir” sebagai padanan merujuk, mengutip, dan sejenisnya. Padahal melansir berarti mengabarkan, meluncurkan. Saya pernah menulis perkara kesalahkaprahan “melansir” ini (2022).

Kesalahkaprahan melansir dalam bahasa media — Blogombal.com

Tadi setelah sempat heran, saya pun segera sadar bahwa laman yang baca bukanlah Koran Tempo maupun majalah Tempo, melainkan Tempo versi berita sela (breaking news). Pada versi koran yang kini hanya daring maupun majalah daring dan cetak, produk Tempo lebih cermat dalam berbahasa karena ada penyelaras bahasa.

Apakah dalam Tempo versi rutin harian tak ada penyelaras bahasa, yang dulu di kalangan media disebut polisi bahasa dan penyunting bahasa, saya tidak tahu. Pacuan waktu dalam berita sela memang tinggi, penuh ketergesaan, sehingga gaya bahasanya bisa berbeda. Di Kompas.id, yang versi koran cetaknya tertib dalam bahasa saja bisa bobol dalam berita sela. Maka ada kasus berita Kompas.id pun berbegini dalam berita secara mbulet (¬ lihat arsip: Bahkan Kompas.id pun berbegini dalam tajuk berita).

Oh ya, mengapa bahasa Kompas.id dan Kompas.com berbeda dalam berbahasa? Mereka dua entitas yang berbeda. Pembaca yang disasar pun berbeda.

2 Comments

mpokb Sabtu 11 Januari 2025 ~ 20.09 Reply

Repot ini kalau keterusan. Padahal Tempo salah satu media yang biasa dirujuk untuk berbahasa baik dan benar.

Pemilik Blog Sabtu 11 Januari 2025 ~ 20.22 Reply

Tak semua media daring punya penyelaras bahasa karena harus mengejar waktu dan trafik. Selain itu juga berhemat, tak perlu menggaji orang.

Dari mana sumber kesalahkaprahan? Sesama media, termasuk dulu TV, dan media sosial. Maka masih banyak media menyebut suatu bagian dari acara sebagai “prosesi”, padahal prosesi berarti arak-arakan. TV juga suka istilah itu.

Ada yang bilang, sebagian redaksi media daring tak punya perpustakaan, dan para awaknya hanya mau memanfaatkan konten internet yang gratis. Semoga gibah itu salah besar. 🙈

Tinggalkan Balasan