“Cuanki tuh rasanya gimana, Bu?” tanya saya kepada pemilik warung kebutuhan dapur. Bu Warung bilang dalam bahasa Jawa yang saya terjemahkan, “Enak, Pak. Dikasih kuah panas. Mau ambil?”
Harga per bungkus cuanki instan Rp10.000. Tentu tak mungkin buat makan siang gratis anak sekolah dari APBN. Namun gratis maupun bayar, saya belum pernah makan cuanki. Kenapa? Sejak pertama kali tahu sepuluh tahun silam, dijajakan keliling dengan pikulan dan akhirnya sepeda, juga motor, saya tak berminat. Mungkin karena pembelinya anak-anak.
Sebelum dijajakan berkeliling, saya belum pernah mendengar kata cuanki. Pada 2014 itu, saat pertama kali melihat penjual dengan pikulan, saya malah teringat kata cuan. Saya tahu kata cuan dalam berita dipopulerkan oleh koran dan tabloid Kontan. Setelah media sosial kian merata, kata cuan menjadi lumrah. Saya tak tahu apakah sebelum KBBI V kata itu sudah ada.
Lalu dari mana kata cuanki? Ada yang bilang dari bakso tahu Choan Kie di Cimahi, Jabar, misalnya artikel di Portal Bandung Timur, Pikiran Rakyat (2024). Artikel Detik (2020) juga menyatakan serupa, tentang cuanki Bandung, namun tak menyebut kata choan kie — arti kata ini belum jelas bagi saya. Kemudian cuanki lebih dikenal sebagai makanan Cina dari Garut, Jabar, mirip siomai kering tanpa daging babi, sesuai asal penjajanya.
Masakan Cina adalah bagian dari kekayaan seni perdapuran Indonesia. Tentu terjadi akulturasi. Namun saya heran, masih saja ada orang anti-Cina yang doyan bakso, bakmi, tahu, dan lainnya termasuk nasi goreng dan soto. Juga gemar mengucapkan kata yang diserap dari bahasa kesukuan Cina, macam gocap, lihai, hoki, tangsi, jalangkung, dan seterusnya.