Agung Sedayu tidak bermukim di Lembah Manah apalagi Lembah Tidar melainkan Tanah Perdikan Menoreh, di Kulonprogo, DIY. Tanah perdikan adalah wilayah yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak kepada kerajaan.
Agung Sedayu, pria dari Jatinom, kini di Kabupaten Klaten, Jateng, itu tak hanya menjadi saksi pembangunan ibu kota baru tetapi juga terlibat karena persahabatan dirinya dengan Danang Sutawijaya (1596—1601), pendiri kerajaan Mataram Islam yang kemudian bergelar Panembahan Senapati.
Mataram meneruskan Kesultanan Pajang, petilasan ibu kotanya mencakup Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan, Surakarta, dan Desa Makamhaji, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jateng.
Ibu kota pertama Mataram ada di Kotagede, kini petilasannya mencakup wilayah Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Di sana pula Sutawijaya kemudian bergelar Raden Ngabehi Loring Pasar, artinya dèn bèi (priayi) yang bermukim di utara pasar.
Tentu sosok Sedayu itu fiktif. Panggilannya memang Sedayu, bukan Agung. Dia adalah tokoh dalam serial cerita silat Api di Bukit Menoreh (AdBM) karya S.H. Mintardja (1933—1999), yang sebagai buku telah terbit 396 jilid selama 34 tahun sejak 1968, sedangkan sebagai cerber di koran Kedaulatan Rakyat selama 31 tahun selama 1968—2002, tanpa pernah tamat karena penulisnya meninggal.
Belakangan ini nama perusahaan properti Grup Agung Sedayu mengemuka karena terkait dengan Proyek Strategis Nasional, antara lain IKN dan Pantai Indah Kapuk 2. Dalam group Agung Sedayu antara lain ada PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk. Saya tak tahu dari mana sang pendiri, yakni Sugianto “Aguan” Kusuma (73), mendapatkan ide menamai perusahaannya Agung Sedayu pada 1971. Saat itu AdBM sudah terbit.
Nama perusahaan mirip dengan tokoh dalam AdBM, selain Agung Sedayu, yang saya tahu adalah UKM sablon kaus di Pejompongan, Jakpus: Sekar Mirah. Di sanalah, pada masa Orde Baru, saya dan kawan-kawan mencetak kaus cap Kambing Hitam. Produknya laris, cepat terserap pasar, karena isinya mengejek penguasa, saat itu bisa dianggap subversif, namun hasil penjualan tak semuanya tertagih. Kebetulan saat itu krisis moneter sedang mendera Indonesia.
Tentang Sedayu, dia sakti namun peragu, sebisanya menghindari pertarungan, bahkan jika pun membunuh lawan hal itu karena terpaksa agar bukan dirinya yang terbunuh. Pada masa remajanya si bungsu dari empat bersaudara itu seorang penakut dan cengeng, tidak mampu berkelahi karena tak menguasai bela diri, padahal ayahnya, Ki Sadewa, adalah orang sakti. Namun Sedayu punya kebisaan hebat, yakni daya bidik.
Sebelum menjadi orang sakti bersenjata cambuk, dan akhirnya sanggup meremas isi dada lawan melalui tatapan mata, Sedayu muda titis menyambitkan kerikil ke kerikil yang sedang melayang di udara di bawah sinar rembulan sampai memanah anak panah yang sedang melesat di udara.
Apakah di hari tuanya, setelah menjadi perwira, dia menjadi tuan tanah? Tidak. Rumah yang dia tinggali bersama Sekar Mirah, istrinya, putri Ki Demang Sangkalputung, kini di Klaten, berdiri di atas tanah hibah Ki Gede Menoreh. Demikian pula sawah yang dia miliki.
Sedayu adalah orang yang lembah manah, rendah hati. Ujian berat dalam hidupnya antara lain memutuskan berkarier militer untuk memimpin pasukan komando, padahal dia introvert dan tak mau terikat; lalu menyadarkan adik seperguruannya merangkap kangmas ipar, Swandaru Geni, bahwa dirinya berilmu mumpuni nggegirisi; dan tidak kunjung punya anak.
Sebagian pembaca AdBM menduga Sedayu secara andrologis tidak subur karena dirinya kebal racun melalui laku berat. Dia kebal bisa ular termaut hingga ramuan pembunuh yang dayanya berlipat melebihi warangan keris.
Ilustrasi dalam sampul (oleh Herry Wibowo) dan halaman dalam (Sudyono, kemudian Suparto) sangat Yoja: surjan lirik dan blangkon bermondolan dengan simpul ikatan melintang. Namun Sudyono sering menggambarkan potongan surjan Sedayu mirip blazer. Sejak bocah saya heran, para tokoh dalam AdBM tak pernah mengenakan alas kaki padahal harus berjalan jauh.
Serial AdBM dapat Anda simak dari blog Api di Bukit Menoreh, para sukarelawan penyalinnya telah mendapatkan izin dari keluarga Mintardja untuk menerbitkan secara gratis bagi publik.
¬ Sumber reprogragfi gambar dari blog AdBM