Husss… ini bukan iklan maupun pos berbayar atau titipan. Tadi malam, dalam keadaan penat setelah jalan kaki agak jauh, saya mendapati dua galon Aqua pesanan anak saya sudah tiba. Meski penat, mau tak mau galon saya pasang saat itu juga. Saya sempat membatin, botolnya lebih bersih. Mungkin stok baru.
Pagi tadi saat memotret pintu pagar dan dinding, saya baru menyadari wajah galon ini berbeda dari yang selama ini saya lihat. Lalu saya ambil galon kosong untuk saya sandingkan dengan botol baru. Pada kemasan gaya baru, plastiknya lebih bening, pada label ada boks merah, ternyata bertuliskan “kemasan baru”.
Saya belum mencari tahu apakah penggantian ini bertaut dengan isu mikroplastik, nanoplastik, dan sebagainya. Logo embos Aqua pada galon baru tak sekentara galon lama, namun masih sama-sama terbalik menghadap ke bawah. Bagaimana perbandingan resonansi bunyi galon kosong sebagai perkusi belum saya coba.
Adapun logo Aqua pada etiket atau label galon berdesain baru tidak tampak terbalik. Saya menduga ini disebabkan dua hal. Pertama: makin banyak dispenser dengan posisi galon di bawah sehingga botol besar tak perlu dibalik untuk ditaruh di atas agar gravitasi menyelesaikan masalah.
Kedua: pengguna pompa galon model kocok tekan maupun bertenaga baterai isi ulang makin banyak, sehingga botol galon tetap dapat ditaruh apa adanya.
Baiklah. Soal desain itu hal jamak dalam bisnis. Lalu? Ada soal mendasar dalam industri air dalam kemasan. Pemerintah gagal (dalam bahasa yang sopan: belum sanggup) menyediakan drinking water atau air minum melalui distribusi untuk semua warga masyarakat.
Akhirnya sebagian kita harus membeli air eceran, termasuk yang berupa air galon isi ulang maupun air jeriken yang diangkut gerobak, karena air sumur kita tak layak.
Drinking water dalam anggapan saya adalah air dari keran yang dapat langsung kita minum, sehingga tak perlu ada botol air minum di kamar hotel dengan tulisan pengingat jangan minum air dari keran. Tentu masalah tak boleh diatasi dengan melepaskan label peringatan atau kita nekat meminum air keran.
Eh, dalam kampanye Pilpres 2024 lalu ada isu privatisasi air, nggak sih?
¬ Infografik: Kompas (2023)
- Tiga bulan air mampat, PDAM mengatasi setelah viral: Orang miskin di Jakarta membayar air bersih lebih mahal, itu pun dengan layanan buruk. Ketimpangan urban nan memprihatinkan.
- Gerobak air dalam jeriken @ Rp4.000: Ketika pemerintah gagal menyediakan air minum, bukan sekadar air bersih, rakyat mencari solusi sendiri, dengan mengabaikan aturan.
4 Comments
Masih teringat pada November 2022 saya berkunjung ke Sydney, Australia untuk mengikuti konferensi di sana. Selama dua hari, insting saya langsung mencari botol air mineral berukuran besar di supermarket dekat hotel.
Namun, keesokan harinya saya diberitahu teman saya bahwa air keran di Sydney bisa diminum langsung. Saat itu juga, saya merasa menyesal menghabiskan sekitar AU$12 hanya untuk membeli air mineral.
Kebiasaan di negara tercinta ini untuk membeli air mineral kemasan dan/atau galon untuk minum. Padahal seharusnya air dari PDAM itu dapat diminum, bukan sebaliknya. Apalah guna “air minum” dari singkatan PDAM apabila airnya tidak dapat diminum.
Lha ya itu, namanya saja drinking water. Tapi di sini jangankan buat drinking, disebut air bersih pun belum jaminan
Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.. katanya..
Btw paling ngeselin kalau air PDAM keruh, padahal tagihan dihitung berdasarkan jumlah pemakaian air. Air keruh tidak didiskon, Paman #curcol
Nah itu!
Padahal setiap penyedia barang dan jasa terikat oleh service level agreement. Dengan catatan kalau ada klausul itu dalam perjanjian konsumen dan PDAM.
Kalo interned mati lama saya minta diskon. Kalo kita gak riwil gak dikasih. Semprul betul.