“Ning njero waé, Lé. Apa ora atis to ning njaba?” kata perempuan itu dalam bahasa Jawa. Artinya, di dalam saja, Nak. Apa di luar tidak dingin? Tadi, masih pagi, saya duduk di teras sebuah rumah, bercelana pendek dan berkaus. Sementara dia meringkuk di atas sofa dalam rumah.
Bagi saya cuaca belakangan ini nyaman karena sejuk, namun sesekali kurang nyaman karena kelembapan tinggi menjadikan hawa terasa sumuk. Bagi si tholé itu, dalam hal ini adalah saya yang sudah tua, cuaca 26°—27° itu pas karena saya sumukan.
Panggilan lé, dari kata tholé, adalah peringkasan untuk konth**lé, artinya penisnya. Untuk anak perempuan adalah wuk, peringkasan dari bawuk. Menurut Bausastra W.J.S. Poerwadarminta, bawuk adalah pawadonan — artinya genitalia perempuan. Ada yang mengucapkannya gawuk dan wawuk.
Dulu pada masa kolonial hingga awal kemerdekaan, ada bacaan berbahasa Jawa anak sekolah dengan tokoh Kuntjung dan Bawuk (¬ lihat blog Bandung Mawardi, 2014). Si Kuntjung, cowok, dinamai demikian karena rambutnya berpotongan pelontos sebagian atau seluruhnya, dengan ujung tersisa di atas bagian depan kepala. Pada 1970—1980-an TVRI Yogyakarta mengangkat Kuncung lan Bawuk sebagai serial teater boneka siwur berbahasa Jawa.
Waktu saya masih kecil pernah mendengar simbah putri saya bercanda dengan simbah lain, dan salah satu simbah yang adik perempuan simbah saya berucap, “Kuncung lan bawuk, bawuké kuncungen.” Lalu simbah lain, yang saya panggil bude, sambil menahan tembakau susur di bibirnya, menempelkan jari telunjuk di bibir. Simbah saya bilang, “Huss… ana cah cilik.” Yang dia maksud adalah saya.
Hari ini lé masih menjadi panggilan untuk anak laki-laki. Banyak orang Jawa di Jabodetabek masih memanggil anak dan keponakannya lé. Tentu lebih banyak yang memanggil anak kecil hingga muda dewasa dengan mas dan mbak. Demikian pula panggilan abang dan kakak oleh orang yang lebih tua, terutama dalam keluarga.
Adapun panggilan lik, dari kata cilik, untuk bocah sudah jarang saya dengar. Lebih lumrah mas, penyingkatan untuk kakangmas, bahkan dalam keluarga. Demikian pula mbak, dari mbokayu yang diringkas menjadi mbakyu.
Kalau nang? Panggilan ini, dari lanang, makin jarang terdengar. Saya waktu kecil pernah dipanggil nang oleh beberapa saudara jauh yang lebih tua dari ibu saya. Tetapi soal nang ini ada yang menarik. Sampai 1980-an sebagian civitas academica UGM, Yogyakarta, tahu bahwa Nang Seno adalah julukan untuk Mohammad Setia Aji Sastroamidjojo (1921—2004), guru besar fisika, pendiri Laboratorium Tenaga Surya MIPA, ayahanda dari sastrawan Seno Gumira Ajidarma.
Lalu ada pula panggilan gus, singkatan cah bagus. Bude saya yang orang Jakarta dulu kadang memanggil saya yang masih kecil gus. Lalu sapaan itu muncul lagi saat saya sudah mahasiswa. Ibunda dari teman saya di Klaten, Jateng, yang saya sapa Sibu (dari si ibu), mengikuti putra-putrinya, menyebut saya Gus Antyo. Itu panggilan untuk anak kecil maupun dewasa seperti mas, namun ketika saya jagong mantèn di Malang, Jatim, saya dengar beberapa ibu menyebut suaminya gus, dalam rumah yang punya gawe, gereja, maupun resepsi.
Kurun waktu yang sama, dari majalah Tempo saya tahu bahwa sebutan untuk Abdurrahman Wahid, saat itu belum memimpin PBNU, adalah Gus Dur. Kemudian dari majalah Matra saya tahu ada Gus Miek (K.H.Hamim Thohari Djazuli, 1940—1993), yang dicari oleh majalah itu sampai diskotek di Surabaya. Di sanalah dia berdakwah.
Seterusnya saya menjadi tahu bahwa gus adalah sapaan dari kalangan Nahdliyin untuk anak-anak kiai dan tentu kiai. Hari ini, bio Islah Bahrawi (52) dalam akunnya di X masih tertulis “Bukan Gus, apalagi Kyai”, dengan penutup “Bukan pengurus PBNU tapi Nahdliyin organik sejak lahir”.
Lalu siapa perempuan dalam pembuka paragraf yang menyebut saya lé? Istri saya.
Kadang dia memanggil saya begitu, dan sesekali lik, dan lebih sering lagi hanya nama, atau bapak kalau di depan anak-anak saya, namun di depan orang menyebut saya mas. Bisa juga di depan kawan yang menyebut saya paman, dia ikut berpaman.
Saya sejak dulu memanggil dia wuk, mengikuti cara kakak-kakak dan orangtuanya. Salah satu adik saya, lima tahun lebih muda, juga memanggil dia wuk.
¬ Ilustrasi kisah Kuntjung dari blog Bandung Mawardi
2 Comments
Tak beda dari Tante Kamsi, eh Ny Antyo, istri saya pun punya beberapa nama panggilan untuk saya. Di depan adik-adik saya (dan para bulik serta om) dia menyebut saya Mas Anto (sesuai panggilan saya di keluarga besar), di depan kawan-kawan SMA, kawan kuliah dan para jurnalis dia memanggil saya Mas Dhodho (seperti kalau kawan-kawan itu memanggil saya), dan memanggil ayah di depan banyak orang, memanggil Pak Jun di depan kawan-kawan sekantor saya dulu.
Perempuan lebih adaptif dan bisa autoswitch. 🙏👍💐💯