Makan dengan lauk berlimpah. Ada yang suka dan ada yang suka banget. Maaf, ini pendekatan ala Asia: makan dengan nasi dan lauk. Kalau tanpa nasi itu namanya menggado.
Saya tergerak menulis ini setelah melihat video di X. Sebenarnya hal biasa: yang disebut makan besar adalah bersantap dengan meja penuh lauk. Biarpun lauknya besar, misalnya seekor kambing guling utuh, atau babi guling bagi yang tak mengharamkan, tetapi hanya ada itu, rasanya kurang pas jika disebut makan besar.
P0TRET PEJABAT WAKANDA
Pejabat kenyang
Rakyat kejang-kejang dibebani pajak🙄Selamat buat rakyat yang rajin membayar pajak.
Berkat pajak kalian pejabat bisa makan semakin enak😎 pic.twitter.com/qeDJzvW2Jh— Naoliticum (@JeblukAkun) November 25, 2024
Meja penuh piring dan mangkuk lauk biasa kita jumpai di rumah makan Padang dan rumah makan Cina. Untuk rumah makan Cina biasanya menggunakan meja dengan bagian tengah, berupa tatakan makanan, yang berporos dan dapat digerakkan memutar. Dari rumah makan Cina, setahu saya, muncul istilah makan tengah — dengan maupun tanpa bagian meja yang berputar.
Tetapi makan bersama dengan banyak lauk nan lengkap, para penyantap duduk mengelilingi meja besar, sebenarnya merepotkan. Lihat saja video di atas. Ada yang harus bangkit berdiri, lalu membungkuk dan mengulurkan tangan, untuk mengambil lauk. Namun ada yang bilang itulah makan ala sultan: penuh lauk. Mosok.
Tentu ada solusinya: minta tolong orang yang terdekat dengan lauk termaksud, jika perlu estafet, untuk mengambilkan. Namun itu bukan hal mudah jika orang yang akan dimintai tolong secara sosial berposisi lebih tinggi. Belum lagi kerepotan tambahan karena masing-masing bersantap langsung dengan tangan.
Lain halnya jika lauknya banyak namun tak lengkap. Maksud saya, ragam lauknya terbatas, terkelompokkan dalam kluster, lalu satu kluster untuk empat sampai lima orang. Jadi, dalam sebuah meja panjang bisa ada dua atau lebih kluster. Isi setiap kluster sama.
Hal yang sama dapat diterapkan untuk makan bersila bersama-sama, termasuk makan bersama yang lauk dan nasinya digelar di atas daun pisang. Tidak perlu ada tangan srawéyan. Tetapi bagi orang tertentu, makan dengan tangan srawéyan mungkin justru menyenangkan, duduk bersila pula, sikut menyenggol paha ayam di tangan orang sebelah pun tak soal.
Kita mengenal meja, mungkin, dari orang Barat, dalam hal ini Belanda penjajah — kalau penjajah Belanda itu bisa orang Prancis dan lainnya. Makan besar di meja biasanya diladeni. Setidaknya pramusaji segera mengambil ajang kosong. Dalam andrawina, makanan dibawa ke meja secara berurutan sesuai tahap penikmatan dalam etiket bujana, sehingga meja tidak penuh. Namun dalam makan besar kita, bahkan buah pun disajikan bersama lauk. Maka makin sesaklah meja.
Tetapi ada bagusnya juga meja menjadi penuh oleh makanan yang berdesakan. Tak hanya dapat membuat bingung, apalagi jika penyantap belum pernah tahu makanan yang tersaji, tetapi juga membuat mata kenyang lalu otak mengomando perut bahwa sisa kapasitas karung bergigi tinggal sedikit.
¬ Foto: Tokopedia