Bukan hal menggembirakan apalagi membanggakan, saya disukai nyamuk. Konon itu soal bakat. Saya dulu yang didatangi nyamuk baru kemudian orang lain. Artinya, gara-gara kehadiran saya di sebuah ruang, orang lain dapat jatah digigit nyamuk juga.
Tetapi ada yang lebih mengesalkan ketimbang nyamuk. Apa? Tomcat, atau sebut saja tomket (Paederus fuscipes; rove beetle). Seperti rutin saja saya kena sengat. Kadang sakit banget, lukanya seperti kena sabet, kadang cuma sakit biasa.
Saya sebut sakit biasa itu artinya default. Efek sengatan terasa pada hari kedua atau ketiga, seperti habis tersundut bara rokok. Saya belum pernah terselomot bara cerutu besar, namun saya membayangkan lebih perih daripada rokok, dan itulah yang saya alami jika luka akibat tomcat menjadi melebar dan memanjang.
Tomket menyerang pagi, siang, sore, dan malam. Bisa di luar maupun dalam ruang. Lalu saya mengoleskan salep Purol bikinan Belanda, yang dalam kaleng gepeng itu, agar luka tidak mbenyènyèk. Pekan lalu saya kena serangan lagi, pada lengan (lihat foto pertama), dengan tingkat sakit dan luka pada skor 7 dalam skala 1—10 versi saya.
Seperti pernah saya ceritakan, tomket bisa menyerang bagian tubuh mana pun, termasuk di balik sarung. Lebih dari sekali tomket juga menyerang bagian dekat mata kaki yang agak tertutup sepatu. Kalau saya memakai sandal gunung, kaki disengat tomket sudah biasa.
Bagi nyamuk dan tomket, mungkin tubuh saya punya magnet entomofil, mengundang serangga datang untuk penyerbukan. Untunglah saya jarang bertemu tawon madu. Dulu waktu kecil hingga kuliah saya juga disukai tawon. Bisa bengkak. Kalau kaki yang diserang saya menjadi terpincang-pincang.
Jika menyangkut orang tertentu disukai nyamuk, Kompas lebih dari sekali menulis. Saya ambil arsip 2022. Pertama: mengutip laporan Laboratorium Neurogenetika dan Perilaku Universitas Rockefeller, Amerika Serikat, yang telah meneliti tiga tahun, artikel tersebut menyimpulkan bau badan orang, dari asam lemak, merangsang nyamuk.
Dengan analisis kimia untuk mengidentifikasi 50 senyawa molekuler yang meningkat pada sebum (penghalang pelembap pada kulit), peneliti mendapatkan rentang bau badan yang disukai nyamuk. Maka PR bagi peneliti adalah bagaimana memanipulasi mikrobioma kulit manusia.
Kedua: mengutip jurnal Nature yang merujuk penelitian Departmen Biologi Universitas Washington, AS, nyamuk selain terpikat oleh bau juga tergerakkan oleh warna tertentu, terutama merah dan oranye.
Bagi nyamuk, warna menjadi pengindraan kedua setelah bau. Tatkala nyamuk mencium senyawa tertentu, seperti karbon dioksida dari napas manusia, aroma itu merangsang mata mereka untuk memindai warna tertentu dan pola visual lainnya, lalu menuju ke sana. Nyamuk mengabaikan warna lain, seperti hijau, ungu, biru, dan putih.
Lalu bagaimana dengan Mas Tomi Tomket? Saya belum beroleh rujukan. Yang pasti saya pernah bertanya ke alamat yang salah, yaitu dokter. Saat itu saya belum tahu kalau itu gigitan tomket, dengan jejak berupa luka garis melingkari leher, terjadi infeksi bernanah, sakit sekali.
Pak Dermatolog segera tahu itu gigitan serangga. Saya bertanya serangga apa. Dia jawab, “Saya spesialis kulit, bukan ahli serangga.”
2 Comments
Dermatolognya tidak salah, tapi ngeselin :))
Dia jujur 🙈