Gudeg Jogja yang autentik itu yang bagaimana, bumbu dan cara pembuatannya ataukah asal usul si pembuat, secara genealogis maupun geografis?
Lalu saya teringat penjual martabak Bangka yang ternyata orang Brebes. Penjual soto Gading, dulu di Stasiun Kalibata, yang ternyata orang Semarang, bukan Solo. Penjual bakmi Jawa Gunungkidull yang ternyata orang Klaten. Penjual pempek Palembang yang ternyata orang Bekasi keturunan Jawa.
Di blog ini saya pernah menulis tentang beberapa warung nasi Padang di Jakarta yang ternyata milik orang Banyumas dan sekitarnya pokoknya pelat R, yang logatnya ngapak banget laaa.
Saya tak tahu apakah mereka semua kalau menjual makanan lebih murah dari yang dijual orang asli suatu daerah asal akan dirazia oleh sesama perantau yang merasa lebih berhak secara ginealogis. Mereka diminta menanggalkan label kedaerahan.
Untunglah warung Padang langganan saya orang Minang, tapi dia orang Pariaman, bukan Padang, padahal kaca etalase piringnya bertuliskan Rumah Makan Padang.
¬ Foto: Kumparan/Toshiko
3 Comments
Mengapa tidak ada disebut tentang selat Solo?
🏃🏃🏃🏃
Oh iya, maaf terlewat Lik 🙏🙈💐
Yang penting Mbak Lies piyantun Sala. Aman kalo ada sweeping.
👍🙏