Tiga hari lalu, begitu nasi bungkus dari warung Padang itu datang, saya langsung memutuskan akan makan langsung dengan tangan telanjang. Kalau di rumah lebih leluasa mencuci tangan.
Sebenarnya saya kurang luwes kalau muluk — istilah Jawa yang berarti menyuapi diri dengan tangan telanjang. Tetapi karena terus belajar akhirnya lumayan bisa.
Bagaimana rupa isi bungkusan tak saya foto karena nasi, lauk, dan kuah yang dicampur itu tak enak di mata. Dulu di kantor, setiap saya minta tolong dibelikan nasi Padang selalu menceraikan lauk. Lalu piring untuk nasi dan lauk pun terpisah.
Kemarin di warung Padang langganan saya juga muluk karena di sana ada wastafel. Namun saya mengulangi kesalahan kesekian kalinya: muluk makanan sehabis memotong kuku. Jemari jadi panas. Mana nasinya masih panas pula.
Dua kali peristiwa muluk itu menggiringkan lamunan tentang orang makan berlauk ponsel. Saya membayangkan akan memberikan tip untuk orang yang sedang berusaha makan tanpa disambi berponselria. Atau orang yang ingin mengajari anak, bahkan cucunya, untuk tidak berponselria saat bersantap di rumah maupun kedai.
Saya jarang, atau malah tak pernah, makan sambil berponselria. Telepon masuk pun tak saya angkat, kecuali telepon itu berulang-ulang dari orang yang saya kenal karena pasti butuh respons cepat.
Maka saya pun berpengandaian, orang yang makan dengan tangan telanjang itu akan kerepotan mengurusi ponsel. Hal itu serupa mereka kerepotan melayani pengamen, harus merogoh uang, padahal mereka makan hanya dengan tangan sebelah, tangan yang lain tak menyentuh makanan. Kalau kedua tangan menyentuh makanan tentu lebih merepotkan.
Tetapi ya, tetapi, asumsi saya gugur di warung Padang kemarin. Para pengudap makan dengan tangan telanjang namun tetap sering berponsel, untuk menjawab dengan suara maupun berbalas respons dengan jari yang bersih. Ponsel dan makan saling melengkapi. Kenapa ya?
5 Comments
Kalau makan di rumah lebih enak nggak berponsel, biar makannya lebih enak gitu lho, apalagi pakai tangan :D
Kalau mengudap masih bisa disambi pegang ponsel..
Saya kalo makan dengan sendok maupun muluk di rumah, ponsel nggak di meja makan.
Kalo ngudap ya saya taruh di meja tapi saya awasi sebisanya 🙈
Paman hebat bisa makan tanpa berponselria. Saya tidak bisa tanpa berponselria, meski tak setiap hari — saat makan di rumah, maupun di luar rumah.
Yang setiap hari, bahkan berkali-kali dalam sehari, adalah makan sambil nonton tayangan film Barat (bangsa detektif/polisi) di televisi berbayar.
Dulu ketika rumah masih berupa bangunan asli, kami memanfaatkan sisa lahan di belakang untuk dapur dan ruang makan, dan apa boleh buat ada rak berikut TV. Saya bahagia ketika makan, TV sedang padam.
Saat saya tidur, ponsel di luar kamar, off 🙏
👍👍👍