Baru mengeklik judul berita di Kompas.id tadi pagi, lalu begitu sampai di laman tujuan muncullah jendela sembulan (pop-up window) berisi kuis bahasa Indonesia: manakah yang benar, tolok ukur atau tolak ukur?
Menurut Kompas, sebagian orang menyebutkan tolak ukur. Saya malah baru tahu ada yang menyebut begitu. Jawaban untuk kuis akan menawarkan rubrik bahasa Kompas. Dalam kasus kuis ini, seputar tolok ukur dan tolak ukur, adalah arsip Maret 2022.
Bagi saya, kuis ini bagus dalam arti edukatif. Berfaedah bagi pelajar maupun wong tuwèk gaek, bukan geek, seperti saya.
Masalahnya…
- Berapa orang yang baca konten berbayar Kompas?
- Dari konten berita gratis maupun berbayar, berapa orang dari seratus pembaca berpendidikan minimal S1 yang tertarik soal kebahasaan?
- Dari seratus tamatan minimal S1 yang bekerja di bidang penulisan, tak harus wartawan maupun penerjemah (bukan penterjemah), berapa orang yang rajin menengok KBBI?
- Dari seratus orang yang rajin menengok KBBI, berapa orang yang memasang aplikasi tersebut pada ponselnya?
Saya akui, bahasa Indonesia saya belum bagus namun saya berkesadaran untuk selalu belajar. Saya malu jika bersua orang asing yang dapat berbahasa Indonesia dengan genah dan efektif — atau membaca tulisan mereka — padahal tidak sejak kecil mereka belajar bahasa Indonesia.
Jika menyangkut bahasa di kalangan media, tak semua redaksi memiliki editor bahasa — ada yang menyebutnya penyunting bahasa maupun penyelaras bahasa. Editor bahasa atau copy editor berbeda dari content editor (¬ lihat blog Reverbico).
Pada era media cetak, sebagian redaksi memiliki editor bahasa, khusus menangani bahasa sebelum naskah hasil kerja editor konten siap cetak. Di majalah Tempo dan harian Kompas, ada tim editor bahasa. Kedua media tersebut juga memiliki rubrik rutin tentang bahasa Indonesia.
Setelah era media daring, apalagi jika sajian utamanya berupa berita sela (breaking news), keberadaan editor bahasa hanya menunda jam tayang. Apalagi seorang editor dalam sehari harus menangani puluhan laporan reporter dengan cepat, sempit kesempatan untuk mengecek rujukan yang relevan, sehingga muncul ejekan bahwa redaksi media kini berisi buruh konten. Baca semua isi medianya sendiri saja mereka tak sempat apalagi membaca rujukan lain, mana berbayar maupun berupa kertas pula.
Ada sih jawaban pamungkas: pembaca tidak butuh bahasa dan tuturan memikat tanpa berputar-putar, dan di sisi lain bagi redaksi trafik adalah kompas utama karena menyangkut iklan juga.
Tentu penerbit juga suka jika awak redaksi mampu menulis bagus, rajin memperkaya rujukan dari sumber berbayar dengan biaya sendiri, termasuk biaya ke perpustakaan, asalkan bisa kerja cepat, produktif, dan tak minta naik gaji.
Artinya, pebisnis media macam itu pada dasarnya mulia, dalam dirinya ada kebutuhan konten yang bagus, karena mereka juga akan bertambah bangga.
Kembali ke soal penulisan dan penyuntingan di meja redaksi, sebenarnya CMS (content management system, mirip dasbor WordPress dan Blogspot) yang andal dapat membantu. Untuk ejaan, misalnya, CMS dapat terhubungkan ke KBBI Badan Bahasa melalui API (application programming interface, antarmuka pemrograman aplikasi).
Seperti halnya pada aplikasi pengolah kata, jendela pengetikan pada dasbor akan menandai kata yang harus diperiksa, misalnya “sekedar” padahal yang baku adakah “sekadar”.
Bahkan dalam CMS yang layak, sebelum penyunting mengeklik “terbitkan” muncul sembulan senarai kata yang minta perhatian karena tak ada dalam KBBI. Artinya, kata salah tik juga muncul. Artinya juga, kata yang merupakan hasil kebijakan bahasa redaksi, misalnya “dulu” dan “tapi” (bukan “dahulu” dan “tetapi”) juga dapat terangkut, kecuali orang bagian IT atas perintah redaksi telah mengaturnya agar kata tersebut tak diendus oleh mesin sebagai kata yang salah.
Ribet? Ya. Eh, agak. Saya belum tahu redaksi mana yang memanfaatkan AI untuk memperbaiki kata, menulis secara efektif, dan memilih diksi yang tepat.
Lho, bukannya AI dapat diperintah meringkas tulisan panjang? Ya. Tetapi saya tak tahu apakah si penulis dan editor berita mau belajar dari hasil suntingan AI. Pada zaman media cetak saja ada reporter yang tak memedulikan koreksi editor terhadap penulisan hasil liputannya. Penulis macam itu konsisten terhadap gaya dan caranya sendiri dalam berbahasa. Sangat percaya diri.
Soal lain, bukankah setiap penulis punya gaya personal dalam bertutur? Ya.
Apakah AI dapat menirukan gaya bertutur Remy Sylado, atau Goenawan Mohamad, atau Seno Gumira Ajidarma untuk karya sastra maupun esei, pada periode tertentu? Itu topik lain kali.