Selama ini saya geli saat membaca Alat Kelengkapan Dewan (ADK). Akibat kemiskinan jelajah kebahasaan, yang terbayang di benak saya adalah mebel gedung DPR, komputer, AC, sampai tabung pemadam kebakaran. Pokoknya alat, perkakas. Tools.
Kenapa DPR memaksa istilah alat? Saya tak tahu. Secara kebahasaan sebenarnya tak salah. KBBI memerikan salah satu arti alat sebagai kiasan: “orang yang dipakai untuk mencapai suatu maksud”. Namun istilah “memperalat orang” dan “diperalat” punya konotasi negatif, manipulatif. Orang yang diperalat disamakan dengan benda. Tak beda dari uncek (gimlet), catut atau angkup (pincer) sampai pukul besi. Mungkin istilah itu merujuk “perabot desa” dalam pemerintahan. Sebutan yang sopan adalah pamong desa, isinya kepala desa dan staf.
Ah, apa anehnya? Bukankah badan dan kepala juga dipakai dalam organisasi? Masih ada unsur yang berhubungan dengan jiwa sih, dengan anima. Namun tanpa alat tersebut, secara teoretis parlemen tak berfungsi, cuma berisi orang yang datang, duduk, tidur, dan mangkir.
AKD di DPR mencakup Badan Musyawarah (Bamus), Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN), Badan Legislasi (Baleg), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP), Panitia Khusus (Pansus), Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), serta Badan Aspirasi Masyarakat.
Alat-alat tersebut isinya orang. Hari ini sudah terisi. Orang paling banyak ada di Banggar:
105 anggota (¬ Antara). Oh ya, Ada suatu masa ketika Banggar menyewa serombongan cewek, entah dari agensi pagar ayu mana, untuk berunjuk rasa. Namun para demonstran wangi itu tak paham apa yang mereka perjuangkan.
Hmmm… ingat alat kelengkapan ingat apparatus. Artinya antara lain alat, mesin, bahan, dan organ dari suatu mekanisme. Kalau apparatchik? Sebutan ini bisa bikin tersinggung anggota alat yang paham sejarah, terutama tentang kepartaian yang bertaut dengan Blok Timur — ini terminologi yang setahu saya lawas.