Dulu waktu saya masih bocah, seorang kawan menanya arti “barangkali”. Kami adalah anak-anak yang berbicara dalam bahasa Jawa, tetapi karena tak semua orang punya televisi, bahasa Indonesia hanya ada dalam kertas. Repotnya, bacaan tak terjangkau setiap keluarga.
Maka ada kawan yang tak paham arti “barangkali” yang entah dari mana dia mendengarnya. Saya menjelaskan artinya. Namun kawan yang lain mengoreksi, “Barang kali kuwi watu karo tai.” Barang kali adalah batu dan tinja.
Hmmm… barangkali dan barang kali. Ingatan tentang percakapan masa kanak-kanak tersebut mencuat saat suatu sore saya melintasi jembatan kecil di sebuah kampung dalam area saya.
Pada sebuah tembok di sebelah jembatan itu tertempel spanduk melarang warga membuang sampah ke sungai. Maka persoalannya adalah penegakan hukum dan kepatuhan warga. Bukan urusan mudah. Lihat saja kasus di Sungai Cikarang Hilir, Cikarang, Kabupaten Bekasi.
Sekian lama kita telanjur memperlakuan sungai sebagai area membuang sampah. Maka tembang dolanan Jawa masa lalu mengenal lirik é, dayohé têka / é, gêlarna klasa / é, klasané jebol / é, tambalên jadah / é, jadahé mambu / é, pakakna asu / é, asuné mati / é, buangên kali…
Artinya: e, tamunya datang / e, gelarlah tikar / e, tikarnya jebol / e, tamballah dengan juadah / e, juadahnya basi / e, makankanlah untuk anjing / e, anjingnya mati / e, buanglah ke kali…
Begitulah, kali menjadikan solusi untuk menyingkirkan bangka anjing.
Artinya kawan saya tadi benar. Merujuk alam pikir saat itu, barang kali adalah batu dan segala macam kotoran. Orang BAB pun di kali. Apalagi jika kalinya di belakang rumah, atau di samping rumah, orang tak merasa berkepentingan dengan fasad.
Maka di Pademangan, Jakbar, upaya penataan permukiman girli (pinggir kali) dilakukan dengan memutar arah hadap rumah: ke sungai.