Tak ada yang menarik dari foto ini, bahkan boleh Anda bilang jelek. Namun saya tetap ingin membagikan kesan. Malam itu, akhir pekan lalu, saya naik Gojek, sejauh 6,6 kilometer, ke sebuah alamat duka dekat TMII, Jaktim. Apa yang sering saya lihat, sehingga mata saya terbiasa, kali itu menjadi permenungan saya.
Ya, tentang jaket lusuh si pengojek. Bordirannya sudah mbradhul, benangnya sudah retas, sehingga yang kelihatan hanyalah jejak logo jenama.
Saya tak mencari tahu usia jaket itu, demikian pula sudah berapa lama si pengojek mencari nafkah di atas dua roda dalam panas dan hujan, lalu dalam odometer maupun aplikasi ponselnya mencatat berapa kilometer.
Saya berpengandaian angka odometer lebih jauh daripada jarak tempuh order dalam aplikasi. Maka sungguh bagus, ada bengkel motor yang memberikan diskon ganti oli untuk ojek daring.
Tentu saya juga tak menanya bagaimana dia mencuci jaketnya, apakah juga disikat. Tidak, tidak sampai sejauh itu saya menanya.
Semua pemotor tahu, jaket harian cepat kucel, sehingga di tempat parkir yang aman jaketnya mereka tinggalkan. Bisa karena malu mengenakannya, dan bisa juga karena tak nyaman karena gerah ditambahi bau keringat dan debu serta asap knalpot, oh ya tentu bisa gabungan semuanya.
Dengan mengandalkan lampu jalan saya sempatkan memotret punggung jaket itu selagi sepeda motor berjalan. Saya merasakan perjuangan mereka dengan bagi hasil yang terus berkurang.
Di atas motor yang melaju tentu sulit berkomunikasi, kecuali dengan headset pada helm, lagi pula pendengaran saya belum sehat, tidak bisa stereo.
Kebetulan malam itu saya memilih Gojek Comfort, yaitu motor dengan jok lebih lebar, biasanya bukan motor lawas, suspensi masih layak, dan tarif antaran lebih mahal sedikit.
Saya tak tahu, lebih laku jenis motor dengan jok lebar ataukah yang joknya ramping, tetapi saya membayangkan tak mudah bagi setiap pengojek untuk ambil kredit motor yang lebih nyaman. Apalagi dengan kondisi ekonomi masyarakat saat ini.