Puwaassss sama Jokowi sebelum dia pergi, tapi ada juga caci maki

Kepuasan publik yang tinggi telah meracuni Jokowi. Dia lupa diri. Lalu merusak demokrasi.

▒ Lama baca 2 menit

Survei: Puwaassss oleh Mulyono

Ada hal yang saya tunda membahasnya saat mengangkat tata letak koran Kompas Jumat lalu, yakni soal survei tentang kepuasan publik terhadap Presiden Jokowi.

Tak ada yang baru dari hasil survei tersebut. Sebelum Pilpres 2024 pun umumnya survei menghasilkan hal sama: approval rate terhadap Jokowi itu tinggi. Di atas 80 persen, pernah sampai 90 persen, artinya orang yang tak memilih dia pun ikut puas.

Lalu kenapa ada saja orang — saya tak mengatakan banyak maupun sedikit — yang jengkel bahkan geram terhadap Jokowi?

Survei: Puwaassss oleh Mulyono

Sejauh saya tahu, ukuran kepuasan dalam pelbagai survei membatasi persoalan terhadap kinerja Jokowi. Harus diakui nilainya memang layak.

Namun apakah mengemuka hasil survei terhadap etika politik dan ancaman terhadap demokrasi yang dilakukan oleh Jokowi? Saya pernah sepintas melihat hasil survei macam itu, namun sejauh saya ingat tak ada korelasi dengan — misalnya ada pertanyaan itu — apakah responden akan memilih paslon capres yang tak didukung istana ataukah akan golput sekalian.

Apa pun hasil survei, jangan-jangan bagi banyak orang, terutama di luar media sosial, karena medsos belum tentu representatif, etika politik itu tak bikin kenyang. Kepatutan dalam bernegara modern dikalahkan oleh aspek legal.

Etika dan nilai-nilai dalam demokrasi dianggap isu elitis sakit hati dan nyinyir, kalah dari politisasi bansos, jika perlu bikin pertunjukan membagi sembako di depan Istana Kepresidenan. Bantuan sih oke, sudah ada posnya, tapi politisasinya itu nggak oke banget.

Survei: Puwaassss oleh Mulyono

Jika benar demikian, itu tak berbeda dengan alam pikir mayoritas orang pada era Harto sebelum senja kala kekuasaan: yang penting pangan tercukupi, tetapi soal demokrasi, HAM, dan KKN itu embuh. Persoalan direduksi menjadi pilih makan atau etika. Seolah orang dijebak dalam kondisi untuk bertahan hidup secara ultraekstrem tanpa ada nilai-nilai keutamaan manusia — bahkan menjadi kanibal pun apa boleh buat.

Begitu patuhnya sebagian warga pengikut dan pengagum keluarga Candana sehingga dulu orang akan melaporkan orang lain yang kritis terhadap pemerintah kepada aparat keamanan non-yudisial. Banyak orang tak peduli bahwa Harto bisa tujuh kali menjadi presiden, atas pilihan MPR, karena syaratnya, dalam guyon sinis, harus pernah menjadi presiden. Sayang guyon macam itu dianggap membocorkan rahasia negara.

Pada era Harto, seorang warga menyatakan diri ingin menjadi presiden, namanya Darius Marpaung, malah diciduk intel. Sebagian orang bilang, salah sendiri. Tetapi siapa waktu itu berani membela Darius terang-terangan? Bahkan wartawan yang mewawancarai Darius pun ditelepon aparat keamanan.

Pada era Bung Karno, banyak orang mendukungnya sebagai Pemimpin Besar Revolusi, bahkan membombongnya sebagai presiden seumur hidup. Niat tersebut dirumuskan dalam Ketetapan MPRS RI Nomor III/MPRS/1966.

Bagaimana dengan Mulyono? Tingkat kepuasan publik membuatnya lupa diri, apalagi ada yang membombongnya, akibatnya merusak citra diri. Bahkan bekas menterinya pun menyebut nama dia Mulyono, nama yang sudah tak berlaku. Orang tahu nama awal Bung Karno dulu Kusno, tetapi tak ada yang menjadikan nama itu sebagai ejekan.

Lalu ada rumus pengelak dari para hamba Mulyono: itu semua kemauan banyak pihak, artinya sesuai demos dan kratos. Dan kelak, rumus apologetisnya adalah jangan saling menyalahkan, itu kehendak sejarah, tak mungkin hanya dari niat seorang Mulyono.

Para tokoh politik, serta partai-partai, yang merasa akan diuntungkan, mendukung penundaan pilpres, perpanjangan kekuasaan, masa jabatan tiga periode, atas nama kompensasi waktu yang hilang karena pandemi Covid-19.

Dan akhirnya… semua orang tahu, Mulyono cari cara agar anak sulungnya, yang ternyata sudah dibina secara politis sejak sebelum Wali Kota Surakarta, dapat lolos sebagai kandidat cawapres.

Kalau saja tak dibendung oleh amarah rakyat sebagai parlemen jalanan, si tholé anak bungsu Mulyono akan menjadi cawagub Jateng, hanya bermodalkan putusan Mahkamah Agung, dan DPR tinggal merevisi UU Pilkada.

Mulyono, melalui jubir Hasan Nasbi, menyatakan akan mengikuti putusan pembuat UU, yakni DPR. Maklumlah, anginnya sedang bagus. Maka benarlah pendapat bahwa demokrasi bisa dibunuh oleh pendukungnya.

Sebelumnya secara jemawa si tholé sudah bilang tidak takut menghadap Ridwan Kamil dan Anies Baswedan untuk Pilgub Jakarta. Untuk deklarasi Pilgub Jateng, anak itu sudah siap. DPR sudah berbulat tekad akan mengubah UU soal batas usia minimum.

Jika niat keluarga Mulyono tercapai, alangkah makin sial negeri ini. Adapun heboh soal fufufafa dan jet privat, hanyalah garnis dalam hidangan berempah nan beracun. Karena esensi maupun substansinya bukan itu.

¬ Infografik: Litbang Kompas

¬ Catatan: konstitusi membatqwu masa jabatan presiden dua periode setelah Amandemen UUD 1945 pada 1999

¬ Prestasi Jokowi: 400 juta dosis vaksin saat pandemi

4 Comments

Pemilik Blog Senin 14 Oktober 2024 ~ 01.31 Reply

Halah basa-basi politik atas nama unggah-ungguh 🙈
Tapi itu baik kok, Lik.
Nanti kalo saya ke Solo mungkin istri saya juga akan menitipkan suaminya ke Lik Jun. Bukan supaya tidak mbedhal sih

Pemilik Blog Senin 14 Oktober 2024 ~ 16.52

Diawasi Lik Jun dalamnya hal kesehatan. Nggak begadang pol sampai terang tanah, nggak udud spt lokomotif, tetap makan proporsional.

Tinggalkan Balasan