Fantasi rumah berhalaman jembar dengan hijau pepohonan

Setiap anak punya khayalan setelah dewasa akan jadi orang macam apa. Untuk saya, fantasi itu tak terwujud. Saya geli sendiri mengingatnya.

▒ Lama baca < 1 menit

Pondok 47 di Jalan Raya Inpres Kramatjati, dekat RSUD

Apakah seorang bocah punya fantasi tentang rumah bagi dirinya? Saya dulu punya. Pikiran belum rumit, membayangkan cari duit itu gampang, sehingga saya berkhayal setelah dewasa — saya menyebutnya “yèn wis gedhé“, kalau sudah besar — punya rumah tidak terlalu besar di atas lahan luas dengan banyak tanaman terawat, diramaikan oleh kicauan aneka burung yang tak terkurung.

Saat itu saya lebih membayangkan punya kuda daripada sepeda motor dan mobil, namun selain kuda saya juga punya sepeda bagus.

Saya membayangkan memiara menjangan dan zebra. Saya sudah memastikan pasti setelah dewasa punya perpustakaan pribadi yang besar dengan meja seukuran meja ping pong dan globe berdiameter sepelukan. Di ruang itu saya menyimpan senapan berburu. Ada juga teropong bintang dan mikroskop. Di sana pula ada foto besar saya bersetelan khaki di sebuah galian purbakala. Foto lain, saya berdiri dengan lagak lajak penuh kemenangan, senapan saya pegang berdiri di samping bangkai singa.

Ketika sore itu teringat fantasi masa kecil, di pelataran belakang sebuah kedai bertema Betawi, antara Kramatjati dan Condet, Jaktim, saya tersenyum sendiri. Yang namanya fantasi cenderung ngawur, apalagi untuk seorang bocah.

Dengan fantasi punya rumah berhalaman luas nan menghijau, adakah yang tak saya bayangkan? Tentu ada. Yaitu punya istri dan anak. Belum terpikir. Tertarik lawan jenis saja mungkin belum. Mungkin lho. Eh, sudah ding.

Saat masih bocah, saya suka cewek cantik, dalam arti kulitnya terang, rambutnya lurus rapi, dan roknya bagus. Suka dalam arti saya senang saat melihat mereka. Setelah bersua anak-anak cantik itu di masa dewasa mereka, ternyata biasa saja, tidak semuanya cantik dan atau menarik. Padahal mereka berbusana apik.

Adik saya dulu saat bercanda soal nama kawan, mengajak saya membayangkan setelah kami dewasa, lalu punya seorang anak laki-laki, akan dia atau saya namai Bambang Totok Edi Joko Lilik Nono Hari Wawan Dodo dan entah apa lagi, pokoknya panjang sekali, semuanya nama generik dalam diri satu orang, namun tanpa nama Mulyono.

2 Comments

Junianto Jumat 11 Oktober 2024 ~ 21.28 Reply

Cara yang baik dan benar membaca konten Gombal : baca judul, kemudian langsung paragraf terakhir.

🏃‍♂️🏃‍♂️🏃‍♂️🏃‍♂️🏃‍♂️

Pemilik Blog Sabtu 12 Oktober 2024 ~ 11.08 Reply

Semoga pembaca tak tersesat oleh cara nulis yang mengalir saja, ide pada ending sering mendadak sebelum publish 😂

Tinggalkan Balasan