Dua bulan lalu saya ditertawakan seorang gadis, “Wuiii… Bapak gaul juga, tahu istilah bohir.” Gantian saya yang tertawa, “Bohir itu istilah jadul dari jaman simbah saya.”
Tak perlu saya ulang di sini ihwal asal istilah bohir. Saya pernah membahasnya tiga tahun lalu.
Saya tanya dia, “Emang bohir itu apa, Neng?”
Dia jawab, “Ya bos gitu deh.”
Belakangan istilah bohir memang laku dalam obrolan politik. Pelontarnya, sejauh saya tahu, warganet boomers dan generasi X, serta media berita misalnya majalah Tempo. Maka kata yang jarang terdengar selama 2000—2010 pun akhirnya hidup lagi. Sebagian orang seperti mendapatkan istilah baru.
Yah, itulah jasa media sosial. Selain menciptakan istilah baru juga menghidupkan istilah arkais. Saya ingat seorang pebisnis media daring yang antikata arkais, kecuali jika media lain makin banyak yang menggunakannya dan… istilah tersebut hidup lagi di media sosial.
Dia tak peduli bahwa pembaca sasaran setiap media menentukan kebijakan berbahasa setiap editor. Dia menolak asumsi bahwa kekayaan kosakata bahasa Indonesia, dan kemampuan bertutur secara tertulis, ditentukan oleh tingkat pendidikan pembaca.
Bohir dan anemer mengikat janji tapi tak sampai sehidup semati. Kontrak selesai, urusan tamat, tapi bisa disambung ke proyek berikut. ¬ @ivanlanin @narabahasahttps://t.co/3RPWdWbxw4
— Blogombal.com (@blogombal) October 31, 2021
Ingatan tentang bohir itu muncul saat saya membaca laporan utama majalah Tempo yang bertajuk sampul “Bohir-Bohir Pasir Laut”. Kalimat itu adalah pelesetan yang dipahami boomers dan gen X karena merujuk serial sandiwara radio Butir-Butir Pasir di Laut, selama 1970—1990-an, sampai 5.700 episode, untuk kampanye keluarga berencana. Pada 2021 serial itu disinetronkan (¬ Tabloid Bintang).
Lalu siapa saja bohir pengerukan pasir laut, sebagai buah beleid Jokowi Mulyono sebelum selesai dari jabatan presiden? Antara lain Grup Arsari dari keluarga Djojohadikusumo.
4 Comments
Saya masih menunggu beleid baru Joko Widodo hingga 20 Oktober 2024 nanti.
Sudahlah Lik, Njenengan ikut nyambut Mulyono pulang ke Solo, yang sudah ditunggu pendukung yang. Di Solo sudah adalah bilbor terima kasih untuk guru bangsa, kan? 🙈
Saya tidak akan ikut nyambut Joko Widodo di Solo karena, satu, saya bukan pemuja/pendukungnya; dua, rumah dia, hadiah dari negara, seluas 12.000 m2, bukan di Kota Solo melainkan di Kabupaten Karanganyar, tepatnya di Desa Blulukan, Kecamatan
Colomadu.
Demikian untuk menjadikan periksa (DUMP).
Mendarat di Boyolali, laki menuju Karanganyar lewat Sukoharjo dan Surakarta. Masih satu aglomerasi Solo Raya pelat AD 😂