Sore, pukul enam kurang seperempat, saya keluar dari lorong sempit itu lalu bersua pertigaan di gang kecil. Yang langsung terlihat adalah tulisan “jual es batu”. Sebenarnya ini lumrah. Di perkampungan padat dengan banyak rumah petak selalu ada penjual es batu. Tak semua rumah maupun kamar pondokan punya kulkas.
Saya tak tahu harga es batu sekarang di toko alat listrik itu. Saya hanya lewat, tak bilang kulanuwun menunggu pemilik toko keluar, hanya untuk saya tanyai. Tak sopan, tanpa basa-basi menanyakan harga barang yang tak akan saya beli, padahal saya tak membeli barang lain.
Tentu saya tak tahu sumber air untuk membuat es batu di situ, dari air matang atau air mentah. Tetapi bukankah saat kita mengudap di warung dan minum es juga tak tahu sumber air dari mana? Pemilik warung juga tak tahu. Es diantarkan oleh pemasok. Kalau bentuknya silinder berlubang atau kubus, hasil dari mesin es batu, kita menganggapnya lebih higienis.
Pernah saya ceritakan, saya mengalami keluarga tanpa kulkas (¬ Arsip: es gosrok). Maka dulu, waktu saya bocah, membeli es batu ke pabrik, berupa bongkahan kotak hasil memotong es balok, menjadi hal biasa. Sepanjang perjalanan, es terbungkus serbet dalam kereneng dari pabrik yang saya bawa naik sepeda itu menetes terus. Kereneng? Saat itu tas plastik masih langka.
Di Jalan Langsat, Kebayoran Baru, Jaksel, belasan tahun silam, saya kerap melihat pengantar es batu kotak, hasil pemotongan es balok, menunggang sepeda. Es batu dia taruh di boncengan. Tentu esnya terus menetes sepanjang perjalanan, tetapi untung sampai tujuan belum habis. Saya pernah memotretnya untuk kartu pos.
2 Comments
Saya pernah membuat FB group berjudul “Jual Es Batu” untuk menampung foto-foto semacam ini, berakhir menjadi tempat orang promosi jualan es batu :D
😂😂😂👍👍👍👍 Mulia!