Entah kenapa saya kadung mengidentikkan istilah konsinyering dengan birokrasi, dengan dunia amtenar, dunia ASN, dunia PNS. Mungkin karena selama bekerja di sektor swasta lingkungan saya tak pernah menggunakan istilah itu.
Pagi tadi saya membaca berita koran Kompas, bahwa KPU kemarin menyelenggarakan konsinyering pedoman Pilkada 2024. Dalam kapsi foto tertulis:
Suasana saat digelar rapat konsinyering pembahasan empat Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota pada Pilkada 2024 di Hotel Ayana, Jakarta, Sabtu (24/8/2024) malam.
Menurut KBBI, ternyata kata yang baku itu “konsinyasi”, bukan “konsenyering”. Walah, padahal selama ini saya mengartikan konsinyasi itu sebagai titip jual.
Ternyata ada lima arti konsinyasi. Salah satunya:
“berkumpulnya sejumlah petugas di suatu tempat untuk menggarap pekerjaan secara intensif serta tidak dibenarkan meninggalkan tempat kerja selama kegiatan berlangsung”.
Titip jual. Hasil penjualan diterima nanti melalui pemilik kedai atau toko. Kalau kedai dan toko membeli putus di depan itu namanya kulak.
Maka dalam konsinyasi, seorang ibu menitipkan peyek kacang dan teri di warung bakso. Hasil penjualan bisa diterima harian.
Lalu ibu lain menitipkan baju eksklusif buatannya di toko besar, seperti yang pernah dilakukan istri teman saya yang menekuni wastra etnis — namun hasil penjualan baru dia terima tiga bulan setelah laku.
Konsinyering mungkin dari bahasa Belanda “consignering” (Inggris: consignment — dengan beberapa makna seperti konsinyasi dalam KBBI). Saya belum mencari tahu bagaimana media berbahasa Melayu di Malaysia dan Singapura memilih istilah untuk rapat dalam arti konsinyering.
Soal Pilkada 2024, kalau judul beritanya adalah “KPU Membuka Konsinyasi Pilkada”, banyak pengusaha, terutama UKM, segera bergegas mencari tahu.