Menarik, melihat wajah depan koran hari ini melaporkan demo besar di pelbagai kota kemarin (Kamis, 22/2024). Mereka berpesta visual, merayakan pembatalan revisi UU Pilkada.
Sebagai media dengan berita telat, gaya koran Indonesia mengolah tata letak depan secara khusus setahu saya baru mulai awal 2000-an setelah reformasi. Untuk halaman dalam biasanya visual digarap istimewa jika ada berita penting sepak bola.
Gaya halaman depan koran Indonesia yang kadang memoster itu menurut kesan saya meniru tabloid. Memang sih, di negeri lain ukuran koran yang lebih kecil sudah lama hadir serupa tabloid, lebih kecil daripada broadsheet, sehingga bergambar besar, supaya mencolok di kios. Namun di sini saya tak bicara jurnalisme tabloid yang di Barat berkonotasi masam dan kadang mesum.
Di Indonesia, pelopor tata wajah koran memoster setahu saya Koran Tempo, terutama setelah sekian tahun meninggalkan gaya broadsheet ke ukuran tabloid.
Apa pun gaya tata letaknya, yang klasik rapi, sirkus meriah, maupun poster, koran selama ini telah membiasakan orang membaca teks yang terkaveling-kaveling dalam selembar kertas besar. Ada alur di sana.
Maka ketika Kompas beriklan, sebagai upaya membuktikan relevansi kehadiran koran di tengah jepitan media digital, dia mengedepankan alur membaca berita. Kuncinya ada pada tata letak.
Apakah iklan tersebut adalah imbauan Kompas, sebagai wakil korps koran cetak maupun e-paper, pada saat menjelang berakhirnya koran? Saya tak tahu. Sejarah yang akan mencatatnya.
Menyangkut alur baca, sebenarnya manusia terus beradaptasi. Cara baca kitab rontal, papirus, dan perkamen secara ekstrem berbeda dari koran kertas, namun media tulis kuno tersebut sudah lenyap ketika koran berhadir. Hal ini berbeda dari kemunculan media digital yang terkemas dalam layar elektronik padahal koran masih ada.
Bahkan media digital, melalui layar cembung CRT, muncul ketika koran sedang berjaya, dan koran pula yang mengabarkan media baru tersebut pada abad lalu. Malah koran, dan majalah, juga yang memberikan panduan praktis untuk berinternet.
Kini jangankan generasi milenial dan Z, karena generasi boomers pun akhirnya berkarib dengan media digital berbasis teks maupun gambar hidup.
Padahal alur di layar elektronik jelas berbeda dari koran dan majalah. Bahkan para perancang web dan pelantar pun harus membedakan tampilan di layar ponsel, tablet, maupun laptop/desktop yang tampil sebagai layar horizontal.
Blog yang Anda baca ini tampil beda di ponsel, tablet, dan laptop — apalagi sebelum kini, ketika saya menggunakan tata letak WordPress ala koran versi web. Karena mayoritas pembaca blog ini membaca konten saya di ponsel, saya berani berbanyak foto vertikal, suatu tampilan yang tak nyaman di laptop karena di sana gambar panoramis lebih nyaman secara visual. Mata stereoskopis manusia terbiasa dengan objek melebar (lanskap), bukan?
Maka kini masalahnya apakah media berita digital dapat menerapkan alur gaya koran cetak? Bisa. Desainnya tinggal beli. Misalnya Paperzilla. Bahkan jika perlu dengan personalisasi: tata letak gaya Anda, yang menyukai berita olahraga, berbeda dari orang lain di rumah yang menyukai warta ekbis. Padahal dari media berita yang sama, dengan hari terbit yang sama pula. Namun lagi-lagi ada perbedaan ukuran layar ponsel dan lainnya.
Lalu masalah berikutnya adalah jika Anda memilih arsip berdasarkan suatu titik waktu, misalnya pukul 23.59 tanggal 23 Agustus 2023, ya tahun lalu, apakah tersedia tata letak yang sama?
Tentu bisa asalkan penerbit membuatnya, serupa menyiapkan tembolok berkas (cache), dengan konsekuensi sumber daya. Tangkapan layar tata letak blog ini versi sebelumnya saya ambil dari Internet Archive.
Ide tersebut juga tampak melewah. Kebutuhan pembaca masa kini terhadap arsip konten lama akan bersua single post atau tulisan tunggal, yang konteksnya harus dicari sendiri. Dalam dunia cetak juga terjadi kok. Misalnya dalam buku kumpulan kartun editorial. Tanpa penjelasan, pembaca yang tak mengalami latar masalah bisa kebingungan. Lihat saja Kartun Opini Priyanto S. di Malajah Tempo 1977-1944.