Tungkus lumus melawan kotak kosong pilkada

Apakah para presiden dan petinggi lain berlatar Jawa memengaruhi penetrasi istilah yang menjawa ke dalam bahasa Indonesia?

▒ Lama baca 2 menit

Arti kata tungkus lumus

Dari sejumlah berita Pilkada 2024 ada satu yang mengesankan saya, yakni Pilwali Kota Batam, Kepri. Bukan profil bakal paslon yang berkemungkinan tunggal melainkan kata “tungkus lumus”. Ada rasa Melayu dalam istilah itu. Saya lupa kapan membaca istilah itu, rasanya sih sudah puluhan tahun.

Amsakar Ahmad (Nasdem), yang dipasangkan dengan Li Claudia Chandra (Gerindra), mengatakan kepada Kompas.id, “Tak ada istilah kami mengecilkan kotak kosong. Kami akan bertungkus-lumus memperjuangkan (kemenangan) ini.” Amsakar adalah putra Pulau Lingga, Kepri.

Dahulu saya menafsirkan tungkus lumus itu bekerja mati-matian, yang dalam bahasa Jawa adalah sirah dianggo sikil, sikil dianggo sirah — kepala menjadi kaki dan sebaliknya. Ternyata menurut KBBI tungkus lumus juga berarti terbenam pekerjaan dalam arti negatif, misalnya kesusahan dan utang.

Arti kata tungkus lumus

Rasa Melayu. Sejauh saya membaca berita, artinya bercakupan terbatas, rasa itu jarang saya dapatkan, tak seperti dahulu saat, misalnya, membaca berita berkisah (features) hasil liputan Taufik Ikram Jamil di Kompas. Makin ke sini makin saya rasakan rasa tuturan Jawa — misalnya “punya mobil banyak”, bukan “punya banyak mobil”.

Contoh populer adalah istilah “cawe-cawe” (ikut campur), dan sebelumnya adalah “blusukan” (keluar masuk belukar, kebun, atau kampung), dari Jokowi sebagai orang Jawa. Perlu telaah mendalam untuk mencari korelasi dominasi pejabat berlatar suku Jawa, sejak Bung Karno, dan penyerapan istilah berbahasa Jawa oleh bahasa Indonesia.

Tentu bahasa Sunda juga memperkaya bahasa Indonesia melalui, misalnya, istilah “ngabuburit” mulai 1980-an. Dalam politik ada “contreng” (centang, check mark) untuk alternatif bagi coblos dalam pemilihan. Ada pula “wara-wiri“. Istilah berlatar Betawi juga banyak, mungkin karena dahulu media terpusat di Jakarta. Adapun penulis berlatar Jawa, dalam arti sejak kecil hingga SMA tumbuh di Jogja, yang bisa menulis gaya Betawi ala Firman Muntaco adalah Seno Gumira Ajidarma.

Arti kata tungkus lumus

Meskipun pemengaruh bahasa Indonesia itu beragam, saya merasakan warna Jawa itu dominan. Apakah karena suku Jawa mengisi 40 persen komposisi etnis Indonesia?

Saya orang Jawa namun saya bisa heran dengan arus tuturan tertulis berperisa Jawa. Cara bertutur saya jelas sangat Jawa, namun ketika mencoba menulis dalam bahasa Jawa di Panjebar Semangat saya merasakan tuturan saya menjawakan teks berbahasa Indonesia. Serbatanggung.

Media nasional, maksud saya terbitan Jakarta, yang masih memberi rasa Melayu, setidaknya pada pilihan kata, adalah majalah Tempo. Misalnya kata “tasamuh” yang diserap dari bahasa Arab. Lalu kata “berkelindan”, “sengkarut”, dan “terungku” yang kemudian diikuti media lain.

Majalah itu pula yang memopulerkan kata “kiat”, dengan menjadikannya sebagai nama kolom manajemen Bondan Winarno, awal 1980-an. Pada masa yang sama, rubrik tinjauan ringkas buku di Tempo dinamai “rehal”, disertai ikon tatakan untuk menaruh kitab yang akan dibaca.

Wira wiri

Tinggalkan Balasan