Foto luka berlalat dalam halaman koran

Persoalannya adalah tiada rumus baku dalam menampilkan foto luka berdarah di media berita. Beda mata beda daya tahan.

▒ Lama baca 2 menit

Cara Kompas menampilkan foto luka berdarah

Saat membaca judul mungkin Anda harus menegakan diri untuk membaca isi tulisan ini. Wajar jika muncul perasaan jijik maupun ngeri saat membaca judul macam itu. Baiklah saya ulang: foto luka berlalat dalam halaman koran.

Jika yang menuliskan judul adalah orang lain, entah di blog atau di mana, padahal saya belum melihat gambarnya, sangat mungkin saya tak akan meneruskan baca.

Cara Kompas menampilkan foto luka berdarah

Melihat foto Kompas (Minggu, 18/8/2024) tentang luka pada lutut seorang pemanjat yang dihinggapi dua ekor lalat ini saya tega, tidak ngeri. Kenapa? Saya mendapatkan konteks. Foto luka baru itu bukan gambar tunggal tanpa keterangan. Yang saya sebut konteks adalah sehalaman laporan tentang gairah berlatih panjat tebing, tak hanya oleh orang dewasa namun juga anak-anak.

Namun, maaf, misalnya yang dipotret adalah koreng atau borok, artinya luka bernanah karena infeksi, tentu menjadi mengerikan. Hanya di jurnal kedokteran orang akan tabah melihatnya.

Setelah tua saya ngeri melihat luka dan darah yang parah keterlaluan — termasuk dalam film cerita yang merupakan hasil riasan. Padahal waktu saya bocah tenang saja membaca komik silat dengan gambar pedang menebas leher lawan tempur, apalagi jika lawan itu adalah penjahat.

Cara media mendampingi foto korban kecelakaan

Foto operasi jantung dan jeroan lain di rumah sakit pun saya tak berani melihat. Saya pernah menulis soal cara media menampilkan foto kecelakaan lalu lintas di Jalan Arteri Cibubur, Bekasi, Jabar. Begitu pula foto jenazah Brigadir Yosua Hutabarat yang dibunuh Irjenpol Ferdy Sambo.

Cara Kumparan menampilkan foto jenazah Brigadir Yosua

Meskipun demikian di media sosial ada saja warganet yang tak menyensor diri. Tak hanya foto kecelakaan lalu lintas tetapi juga foto korban bom bunuh diri seperti di halte Kampung Melayu, Jaktim, beberapa tahun silam.

Mungkin mereka, para pengunggah, menyerahkan nasib gambar pada keberatan warganet lain dan kepada sensor oleh manusia pengelola platform maupun oleh robot penyaring konten yang dibantu oleh kecerdasan artifisial.

Atau jangan-jangan, dalam batas tertentu, saya lebih tabah membaca teks tentang kekerasan berdarah daripada melihat gambar? Ada film Indonesia yang tak saya tonton karena thriller-nya bagus: tidak secara verbal sudah mengingatkan pemirsa bahwa isinya perkelahian demi perkelahian keras. Kebetulan kata resensi dan teman yang sudah menonton, seorang juri FFI, memang keras.

Akan tetapi terhadap film luar, Kung Fu Hustle (2004, yang jilid dua belum saya tonton), saya santai saja, padahal isinya perkelahian. Lebih dari sekali saya tonton film yang penuh perkelahian ngawur dan fantastis namun menghibur itu.

Topik ihwal kekerasan dan estetika akan merepotkan jika dibahas panjang di sini. Jika menyangkut foto jurnalistik, yang juga dilekati pendekatan estetis, lantas bagaimana menampilkan darah dan luka?

Tak ada rumus baku. Tetapi dari foto luka berlalat pemanjat tebing kita dapat menakar.

Tinggalkan Balasan