Saat melihat tulisan pada kardus ini saya tersenyum, bukan kepada pemilik warung melainkan sisi utama bidang label. Tertulis di situ “sambel pedas”. Padahal orang bilang, “Yang namanya sambel ya pedes.”
Hmmm… pedas, atau pedes dalam ucapan lisan nonbaku, hanya dimiliki oleh suku bangsa yang mengenal dekat rasa satu itu. Pedas menjadi bagian dari pengalaman sepanjang hayat.
Bahasa Inggris, setahu saya, menyebutnya dengan kosakata yang sudah mereka miliki yakni hot dan atau spicy. Padahal spicy itu berempah namun belum tentu pedas seperti cabai — misalnya rasa lada dan ketumbar. Bahkan untuk sambal pun bahasa Inggris menyebutnya chilli sauce.
Memang sambal itu saus cabai, tetapi istilah itu membuat saya membayangkan hasil blender, bukan ulekan cobek batu. Mungkin ulek itu antara peel dan grind — tolong Anda koreksi kalau salah.
Menyangkut rasa, bahasa Inggris memungut kata umami dari bahasa Jepang. Hal sama dilakukan oleh bahasa Indonesia, sehingga umami tak ditulis dalam cetak miring, sudah masuk KBBI. Artinya gurih.
Maka ada satu moral cerita: orang Inggris mulanya tak mengenal umami, yang disebut rasa kelima setelah manis, pahit, asam, dan asin itu. Rasa rempah pun mereka kenal dari bangsa Timur.
Nah, kembali ke sambal, kita semua tahu rasanya pedas namun dengan gradasi. Paling mudah adalah cara berkomunikasi kita dengan penjual rujak serut dan nasi goreng: pedes dikit, pedes biasa, pedes banget — sampai akhirnya muncul pedes gila sehingga di trotoar depan Keris Gallery, Menteng, Jakpus, pada awal 2000-an bertebaran penjual nasi goreng gila.
Lantas sepuluh tahun terakhir ini masyarakat akrab dengan skala pedas tanpa jelas rentangya, ada yang dari satu hingga belasan. Ada pendekatan kuantitatif berujung tafsir kualitatif: makin besar angka makin pedas.
Saya tak dapat membayangkan rasa makaroni Bon Cabe Level 50 Max End. Dulu pada awal kemunculan makaroni Ngehek saya mencoba menjumput sebatang. Superpedas, saya tak tahu rasa aslinya selain pedas. Serupa saat mencicipi rawon dengan pedas neraka: tak ada rasa rawonnya.
Kesan saya, makin ke sini kaum muda makin menyukai rasa pedas. Di rumah harus ada sambal botolan dan bubuk cabai. Level pedasnya untuk lidah sepatu, jauh melebihi toleransi lidah angkatan saya. Kebetulan pasar menyediakan cabai gila atau cabai setan, namun dalam data harian harga cabai dan lainnya, yang edan dan setani itu tak masuk. Coba tengok Informasi Pangan Jakarta dari pemerintah daerah.
Pedas keterlaluan itu kita sebut saja pedas laknat. Hanya penyukanya yang tak kehilangan rasa asli si makanan olahan, bahkan misalnya mereka kepedasan sampai menangis pun bahagia karena air mata adalah puncak sensasi.
Beruntunglah industri pangan karena alam menyediakan beraneka cabai dengan ragam tingkat kepedasan yang disebut skala Scoville (¬ MySpicer). Untuk sambal kemasan mereka bisa memilih cabai dengan kepedasan tertentu. Mungkin jika perlu melibatkan cabai terpedas carolina reaper maupun pure capsaicin.
Saya bisa makan pedas dalam level sedikit, dan itu pun dari sambal terpisah. Bisa makan pedas pun karena pembiasaan, bermula dari makan di rumah teman dan pacar saat SMA.
Tentang kardus Sambel Pedas, saya teringat hal lain: ikan asin. Saya lebih memilih ikan asin yang tidak terlalu asin. Dulu ada yang mentertawakan saya, “Yang namanya ikan asin ya harus asin.” Padahal semua dapur punya kiat mengorting asin dalam ikan asin: merendam dalam air garam. Prinsip ini tak berlaku untuk memangkas rasa pedas.
¬ Infografik skala Scoville: Soheillmini/Etsy
3 Comments
Saya seneng jangan pare, dan biasa beli dari seorang mbak penjual sarapan agak jauh dari rumah. Hanya, jangan pare masakannya pedas untuk ukuran saya yang enggak pedas (karena gampang diare). Istri saya punya resep untuk mengorting pedasnya jangan pare tersebut : direndam air panas dalam mangkuk/rantang. Saya praktikkan, manjur😁
Pare saya doyan. Pernah saya poskan di sini dgn bonus cerita suami istri suka pare mentah, dimakan pake roti. Suaminya itu pilot.
Suwun untuk cara mengorting pedas. Kapan-kapan akan saya coba. 🙏