Jeng Kembang Kumambang berbaik hati, siang itu mengedrop daging ikan pari ke rumah Kamsi karena nyonya rumah akan memasak mangut iwak pé untuk acara reriungan besok. “Mangut itu enak kalo udah nginep, lebih meresap,” katanya.
Kembang harus turun tangan karena Mbakyu Sayur Dua melanggar komitmen, pagi sebelumnya hanya membawa sebagian pesanan Kamsi.
Seperti biasa mereka ngobrol seru. Diselingi percakapan video dengan ibu-ibu lain. Karena riuh, Kamso pun menampakkan diri.
Sambutan pertama dari Kembang, “Halo, Oom! Bising ya? Hahaha!”
Lalu Kamsi menyergah, “Para suami mana tahu kerepotan istri belanja!”
Kamsi mengadu, para penjual sayur keliling itu semprul. Mereka suka melanggar janji. Sehari sebelumnya dipesan sekian potong daging pari, eh yang lima potong dijual ke orang lain. Hal sama berlaku untuk tahu dan tempe serta bumbu lain.
“Mereka tahu kita itu nggak bisa belanja sendiri, harus ganti daster, belum lagi transpor ke pasar,” keluh Kamsi.
Kembang menimpali, “Sayur keliling dan warung sayur itu sama. Kalo kita udah pesen, karena pasti laku, dipilihin yang jelek. Udah gitu kalo ada orang pengin, mereka ladenin juga, padahal itu barang kita.”
Dari ponsel Kamsi menyeruak suara dari peserta percakapan kelompok, “Tuh Oom Kam mesti tahu. Hehehe… Halo, Oom!”
Kamsi tertawa. Kembang juga.
“Sekarang udah paham belum, Mas?” tanya Kamsi sambil mencubit suaminya.
“Belum,” jawab Kamso.
Kata Kamsi kepada grup di ponsel, “Dia tahunya makan enak sambil bahas politik. Buat kita sih politik tuh nyebelin, apalagi kalo harga-harga naik, politikus cuma berpolemik, lupa rakyat.”
“Salahku apa?” Kamso menggugat.
“Soalnya Oom nongol ya, Tan,” terdengar suara seberang dari ponsel Kembang.
“Dari tadi cuma manggut-manggut, nggak sabar pengin mangut,” kata Kamsi.
¬ Gambar: Evis Dewi Sarwendah / Cookpad