Main kayu terhadap Airlangga

Karena kasus Airlangga mendadak, padahal Tempo sedang dicetak, maka terkesan majalah itu telat. Untung ada adiknya: Kortem.

▒ Lama baca 1 menit

Koran Kompas: Main kayu terhadap Airlangga

Lama saya tak mendengar istilah main kayu. Dalam keterbatasan jelajah media, saya juga jarang mendapati istilah tersebut. Main kayu. Artinya main kasar. Memaksa. Abai aturan main. Koran Tempo (Kortem), sebagai adik majalah Tempo, yang lahir setelah reformasi, telah memilih kata yang tepat.

Koran Kompas: Main kayu terhadap Airlangga

Topik Kortem Senin (12/8/2024) ini bagi saya menarik karena dua hal. Pertama: liputan sigap dan cergas, yang terbit sehari setelah Airlangga Hartarto mengundurkan diri dari Ketum Golkar, telah memberikan gambaran latar masalah. Antara lain, Sabtu siang (10/8/2024) Airlangga sudah menerima surat panggilan dari Kejagung atas dugaan korupsi perizinan ekspor minyak sawit. Kortem mendapatkan cerita dari beberapa petinggi Beringin.

Kedua: laporan media adik menambal kekurangan abangnya, yakni majalah Tempo. Senin yang sama, majalah Tempo terbit dengan laporan utama penjegalan terhadap Anies Baswedan untuk Pilgub Jakarta 2024.

Tempo: Mendepak Anies sebagai cagub Jaka

Tempo terbit Senin sebagai majalah cetak dan majalah digital. Sneak preview sudah muncul dalam Bocor Alus, Sabtu (10/8/2024).

Kanal Tempo di YouTube tersebut adalah langkah cerdas bertahan media lama di ranah digital, setidaknya menjaga ingatan publik terhadap jenama Tempo.

Saya tak tahu, dari seratus pemirsa Bocor Alus, tontonan yang dikemas sebagai obrolan seru santai bernas itu, berapakah yang kemudian membeli Tempo cetak maupun digital dari setiap edisi.

Tempo: Mendepak Anies sebagai cagub Jaka

Sedangkan Kortem akhirnya hanya terbit secara digital sejak Desember 2020. Namun sebagai koran harian, dengan kemasan halaman depan memajalah, atau menabloid dalam arti visual — bukan mewakili cara pandang Barat terhadap selera buruk jurnalisme tabloid — Kortem harus terbit Senin pagi, padahal berita sudah didapatkan Ahad.

Masalah majalah Tempo seperti koran Kompas: harus punya kiat bertahan dalam jagat virtual. Hal bagus, keduanya memiliki sekian jalur penerbitan digital. Soal Kompas dalam urusan Airlangga sudah saya tulis tadi sore.

Masalah media, apalagi jika masih ada versi cetaknya, adalah ketika membuat laporan khusus. Harus mempersiapkan dengan matang, menggarap di lapangan dan meja kerja, disertai pengayaan visual, pokoknya melibatkan kerja tim yang bikin penat, kemudian menyajikannya sebagai sepaket warta.

Laporan Kompas tentang Airlangga Hartarto

Paket warta. Sayang tak semua media berita kini sanggup melakukannya, apalagi kalau harus gratis. Memang ada yang bisa gratis, dengan mengimbaukan donasi, misalnya Project Multatuli. Atau juga dari Narasi dengan video.

Masalahnya, apakah semua pembaca membutuhkan liputan lengkap dan mendalam, disertai perspektif redaksi, karena banjir informasi dengan berita sela (breaking news) gratis telah membiasakan mereka dengan kabar sekilas?

Banjir informasi bukan dalam hari demi hari, melainkan menit ke menit. Lalu pembaca membutuhkan keleluasaan ruang untuk menafsirkan dan mendiskusikan, jika perlu memiuhkan berita menjadi konten “baru”. Seperti beberapa konten dalam blog ini.

Nasib Airlangga Hartarto

5 Comments

Junianto Rabu 14 Agustus 2024 ~ 12.21 Reply

BTW kawan saya itu di Solo, Paman.

Pemilik Blog Rabu 14 Agustus 2024 ~ 15.19 Reply

dia tukang kayu, tukang mebel, atau tukang tebang?

Junianto Rabu 14 Agustus 2024 ~ 10.57 Reply

Saya bilang yang biasa main kayu itu juragan mebel tapi seorang kawan saya — kawan lama sekaligus kawan baik — membantah keras….

Pemilik Blog Rabu 14 Agustus 2024 ~ 11.29 Reply

Leluconnya mmg gitu. Pohon sebesar apa pun bisa dipreteli tukang kayu jadi mebel.

Tinggalkan Balasan