Seingat saya, saya pernah memotret dan menulis tentang kotak surat merangkap kotak koran ini sekira sepuluh tahun silam. Tetapi saya cari tak ketemu. Pemilik kotak ini saya kenal namun dia selalu keliru menyebut nama saya. Kendati demikian moral ceritanya tetap: kotak ini sudah belasan tahun, bahkan lebih, namun tetap bertahan, terpasang.
Tentu muncul pertanyaan, kapankah terakhir kalinya kotak ini dimasuki surat oleh Pak Pos dan dimasuki koran oleh loper? Hanya tuan rumah yang tahu dan semoga ingat.
Surat pos dan koran adalah dua hal yang hari ini terasa sebagai dua produk arkais, seolah sudah lama tersisihkan oleh laju zaman. Memang sih, lama maupun sebentar itu nisbi.
Walakin lama dan sebentar itu relatif, saya dapat memastikan surat pos ke rumah kita lebih dahulu tersingkir, setelah itu baru koran. Ketika SMS lintas operator bekerja pada 2001, surat pos memang belum mati. Kartu Lebaran dan kartu Natal masih terkirimkan setidaknya sampai 2006. Data dari mana?
Maaf, saya menjadikan pengalaman saya sebagai patokan. Sampai 2006 saya masih mengirimkan kartu hari raya, setidaknya untuk dinas, karena kantor saya membuat kartu Lebaran dan kartu Natal untuk relasi setiap awak kerja.
Adapun koran, saya masih melangganinya sampai 2022. Tetapi saya sadar, sudah banyak orang tak digapai oleh koran. Sebagian orang, termasuk Mbakyu Sayur, kalau butuh kertas koran minta kepada saya.
Ada masa ketika saya melanggani koran lebih dari satu, yakni Kompas, The Jakarta Post, Koran Tempo, dan Kontan, yaitu pada 2010—2012. Setelah itu, sampai 2014, saya hanya melanggani Kompas dan Koran Tempo. Semua koran itu tidak masuk kotak surat. Loper melemparkannya ke carport. Setelah pandemi saya memasang keranjang paket, koran dimasukkan sana.
Kini saya malah merenungkan hal lain: apakah kenangan romantis tentang kotak surat, yang lebih dari sekali saya blogkan, juga berlaku bagi orang lain?
Pada masa jaya surat pos pun tak semua rumah memiliki kotak surat. Jika wilayah sampelnya adalah RT, mungkin tergantung RT di mana. Di RW yang sama, beda RT beda kondisi. Misalnya yang satu banyak rumah petak kontrakan, yang lain kompleks perumahan.
Tetapi kalau sampel wilayah hitungannya adalah kelurahan, mungkin hasilnya lebih meriah sekaligus membingungkan untuk sampai pada kesimpulan dari seratus rumah berapakah yang memiliki kotak surat.
Eh, memangnya kantor kelurahan punya data jumlah rumah, bukankah selama ini yang dihitung adalah KK dan jiwa? Punya dong.
Kelurahan tahu jumlah rumah karena berkepentingan dengan pajak bumi dan bangunan. PBB ini juga menghasilkan tambahan pendapatan legal, yang disebut insentif, bagi kepala daerah dan aparat pengumpulnya.
Nah, kembali ke pengumpulan data kotak surat dalam suatu kelurahan, apa manfaatnya? Entah. Ini kan zaman ketika orang gila data. Terutama proses pengumpulan data dengan imbalan.