Tadi pagi saat berjalan-jalan, dan menjumpai bunga ungu di pinggir jalan, saya membatin kita ini beruntung, sudah menyebut bunga Asian pigeonwing sebagai kembang telang, tak perlu memadankan dengan istilah asing yang bisa dianggap cabul.
Nama Latin telang adalah Clitoria ternatea, dahulu diidentifikasi sebagai tanaman endemis dari Pulau Ternate, Malut. Ilustrator botanis Jakób Breyne dari Polandia menyebut telang sebagai Flos clitoridis ternatensibus. Alasannya, ada bagian dari kelopak yang mirip klitoris.
Waktu saya bocah, antara TK sampai kelas satu SD, anak-anak kampung menyebutnya kembang temp*k, tanpa cengengesan. Mereka biasa saja, seperti menyebut tanaman lainnya.
Mendengar nama itu saya pun bingung karena dua hal. Pertama: kata temp*k itu saru, cabul, tak pantas diucapkan karena kasar. Sama-sama saru dalam bahasa Jawa, kata wawuk atau bawuk lebih dapat diterima — seperti halnya kacuk dan manuk, atau titit, untuk penis saat orang dewasa berkomunikasi dengan anak kecil.
Kedua: sejauh saya tahu saat itu, genitalia perempuan serupa garis polos vertikal di bawah pusar, yang pada boneka hanya serupa lekukan tipis dangkal. Tak mirip dengan bunga telang.
Maka tadi saya membatin lagi, kini dengan aneka informasi visual tanpa sensor, apakah wujud kembang telang secara keseluruhan masih dapat disebut mirip klitoris? Bagi saya sih kalau dipaksakan mirip maka menyerupai vulva.
Ya, saya memang sedang membahas bahasa dalam hal ini anatomi tubuh manusia. Karena ingin spesifik, sebagian orang sering menyamakan vagina dan vulva. Vagina itu lorong, sedangkan vulva itu gerbang. Vagina tidak mudah terlihat. Vulva pun sebenarnya juga demikian, perlu pose khusus untuk menampakkan. Sedangkan pada pria, bentuk dan posisi genitalia lebih mudah terlihat.
Secara umum, bahasa Indonesia menamai genitalia dengan istilah yang bagus dan sopan: kemaluan. Dari kata dasar malu. Untuk vulva, jarang terucapkan pukas, yang menurut KBBI adalah “celah pada permukaan luar kemaluan wanita”.
Dalam bahasa Jawa, secara umum genitalia perempuan disebut temp*k. Lalu untuk vulva, sebagian orang menyebutnya tur*k. Namun ada yang berpendapat, tur*k dan temp*k itu sama. Bausastra mengartikan kedua kata itu sebagai pawadonan, dari kata dasar wadon, artinya perempuan.
Adapun untuk klitoris, Bausastra memadankan it*il dengan klent*t, secara spesifik diperikan sebagai “prana ki daging nyênil ing pawadonan“. Artinya daging kecil menonjol pada kemaluan perempuan. Adapun prana, yang berarti inti perasaan dan daya hidup, yang dalam penjelasan ditandai “ki” (artinya krama inggil), adalah kiasan santun untuk klitoris.
Lalu? Bunga ini tetap kita sebut telang saja. Yang penting bisa untuk minuman sampai makanan serbabiru.