Sekitar dua ratus meter dari rumah saya ada sebuah kios fotokopi. Dulu ke arah lain, lebih jauh seratus meter, juga adalah kios fotokopi dan ATK yang akhirnya menjadi warung sate kambing.
Kalau ingat fotokopi, karena sedang mendapatkan permintaan fotokopian, saya selalu membatin, sampai kapan ya kita berurusan dengan fotokopi? Saya tak tahu jawabannya. Saya tak mampu meramal kapankah semua kios fotokopi menjadi warung sate.
Setiap kali saya ke kios fotokopi pertama, selalu kebarengan orang yang memfotokopi kertas. Saya amati sekilas, orang-orang memfotokopi kartu identitas dan surat keterangan. Begitu pun tadi sore ketika saya mengantar istri mencetak dokumen.
Mencetak, bukan memfotokopi, itulah yang sering istri saya lakukan karena tak ada lagi printer inkjet maupun laser di rumah. Cukup mengirim dokumen, bukan barang konfidensial, ke WhatsApp kios, maka urusan selesai.
Soal sampai kapan kita harus memfotokopi ini dan itu pernah saya tulis. Begitu pun nasib fotokopian yang kita setorkan akhirnya jadi apa.
Kini sejumlah administrasi lembaga, termasuk perusahaan, cukup mensyaratkan foto KTP dan swafoto wajah yang dikirim via ponsel. Namun ada hal yang kita tak tahu, seberapa tinggi kemampuan lembaga, yang menyimpan data visual kita dengan aneka data pribadi, dalam mengamankan berkas digital?
Kebocoran data beberapa kali menjadi berita. Di dalamnya ada data kita, termasuk data kita di lokapasar yang sudah “terkompromikan” alias bocor. Coba masukkan alamat email Anda ke kotak isian Periksa Data.
One Comment