Pagi itu, begitu ayunan langkah saya berbelok di pengkolan suatu blok perumahan, mata saya langsung menangkap bagian belakang sepeda motor yang berhenti di depan sebuah rumah. Dari jarak dua puluh meter langsung tampak buah dalam rak, dan saya pun teringat lirik pembuka lagu karya Adikarso. Papaya, mangga, pisang, jambu…
Motor itu tak pernah lewat di depan rumah saya, melainkan hanya di blok lain. Maka saya tak kenal wajah sang penjaja. Karena itu yang saya lakukan pertama kali adalah menyapanya untuk berkenalan. Saya memuji dagangannya yang lengkap dan segar.
Mungkin karena logat saya njawani banget, dia menyahut dalam bahasa Jawa halus, “Inggih, Pak.”
Seterusnya kami bercakap-cakap dalam bahasa Jawa krama madya. Dengan sesama penjual dan tukang Jawa saya jarang ngoko.
Ketika saya menunjuk labu siam dan menyebutnya jipan, dia langsung menukas, “Panjenengan jawinipun pundi, Pak?” Artinya, Anda dari Jawa yang mana. Dia katakan, sebagai wong Boyolali dirinya juga menyebut jipan.
Obrolan singkat dengan canda menjadikan dia mengizinkan saya memotreti dagangannya, termasuk sayur dan ikan. Seperti Mbakyu Sayur langganan kami dulu — yang paham bahwa foto saya untuk konten media sosial sebangsa YouTube dan TikTok, tetapi bentuknya bukan video — Mas Boyolali pun tahu foto saya untuk media sosial.
Para penjual kian terbiasa dirinya dan dagangannya direkam dengan setidaknya ponsel. Saya tentu berterima kasih. Meskipun dia santai berpose, dalam blog ini saya bersengaja menyensor wajahnya dan nomor rumah pelanggan yang menyertakan nama jalan.