Memotret rumah kosong

Memotret rumah orang, bahkan rumah kosong, bukan hal gampang. Kita harus menghargai pemilik properti. Ada CCTV malah bagus.

▒ Lama baca < 1 menit

Memotret rumah kosong

Pagi saat berlatih jalan kaki sambil memulihkan saraf rusak, saya tertarik pada satu hal yang pada hari-hari sebelumnya sudah saya lihat namun saya abaikan. Soal apa? Daun lebar pada halaman samping sebuah rumah kosong.

Saya tertarik karena daun kuping gajah itu sudah menguning dengan latar perdu hijau tua dan tembok mengelupas. Dari sudut saya berdiri ada terobosan mentari pagi.

Bagi saya apa yang terlihat itu nyeni. Maka saya membekukan apa yang tampak dengan kamera ponsel. Apakah hasilnya sebagai foto betul-betul nyeni? Ternyata tidak. Namun tetap saya blogkan.

Memotret rumah kosong

Lalu apa yang akan saya ceritakan? Memotret rumah orang. Bukan soal gampang. Karena kita bisa dicurigai. Lagi pula setiap pemilik properti berhak menyatakan keberatan jika ada orang memotret fasad tanpa permisi.

Bagaimana dengan rumah kosong tak terawat? Tetap kita hormati. Jika ada orang di sekitar, sebaiknya kita permisi, dan mengatakan alasan memotret. Jika perlu kita tunjukin hasilnya, misalnya daun kuping gajah yang menguning, dengan alasan nyeni.

Itu juga saya lakukan ketika memotret tanaman hias di pagar orang. Kalau ada orang, termasuk tetangga rumah yang akan kita potret, ya permisi. Pernah sih saya kepergok pemilik rumah dari jauh, dan dia teriaki dilarang memotret — namun dengan niat bercanda. Hasilnya adalah ngobrol karena sudah lama kami tak bersua, dan saya mendapatkan beberapa foto.

Dilarang memotret

Kini dengan adanya banyak kamera CCTV saya malah senang. Misalnya saya terekam sedang memotret entah tanaman entah buah jatuh di jalan maka ada bukti bahwa saya tak melakukan kejahatan.

Tinggalkan Balasan