Saya tidak melakukan sensus namun dapat menyimpulkan bahwa jumlah ayam di kompleks saya malah lebih banyak dari kucing liar, apalagi kucing secara umum. Setahu saya di area saya tidak ada ayam liar. Entah kenapa bisa begitu.
Ada dua tilikan mengapa ayam kampung sedikit. Pertama: saya lebih sering melihat kucing daripada ayam. Kedua: saya lebih sering melihat kotoran kucing di jalan.
Bagi saya soal ayam ini menarik karena masih ada orang memiara ayam kampung yang dilepas untuk mencari makan sendiri. Kalau saya menggunakan istilah ayam diumbar dalam bahasa Indonesia, oleh sebagian orang dianggap kasar. Kalau dalam bahasa Jawa umbar itu wajar. Bahkan jam istirahat sekolah dahulu disebut umbar.
Saya beroleh kesan jumlah pemiara ayam umbaran ini tak sebanyak belasan tahun silam. Mungkin karena jumlah orang tua menyusut. Sejak dahulu pemiara ayam adalah orang tua.
Kini generasi anak bahkan cucu mereka tak meminta ayam. Lagi pula sisa lahan hanya sedikit. Lalu siapa yang mengurusi ayam kalau mereka bekerja di luar rumah sejak pagi hingga malam.
Apakah memiara ayam umbaran dalam kompleks dapat menimbulkan gesekan dengan tetangga? Saya tak tahu. Belum pernah mendengar.
Saya belum pernah mendengar percekcokan antartetangga karena ada ayam masuk ke dalam rumah. Mungkin karena setiap rumah berpagar.
Kalau di perdesaan sudah lazim ayam berleliaran. Meskipun dahulu tidak setiap rumah punya pagar berpintu, sehingga halamannya terbuka, bahkan ada celah pada pembatas halaman antarrumah untuk dilalui orang, setiap rumah memasang pintu bambu geser maupun pintu separuh alias pintu Belanda pada dapur agar ayam tidak nyelonong.