Pagi tadi saya berlatih jalan kaki di depan rumah. Saat melihat pembatas jalan, yang menarik perhatian saya adalah stiker sedot WC. Ada dua stiker berbeda. Saya membatin, kalau dibiarkan akan membuat penempel stiker yang lain, dari kelompok penyedot tinja, mengikuti.
Bisnis sedot tinja itu unik. Ada penawaran dan permintaan namun nama pengusaha maupun bendera usaha tak pernah tampil. Hanya ada nomor ponsel. Berbeda dari penjual Aqua galon dan Elpiji yang selain punya nomor ponsel juga memiliki bendera jenama, setidaknya nama dirinya. Namun penyalur air minum dan gas tak pernah menempelkan stiker.
Soal lain yang menarik, sejauh saya tahu tak ada pengusaha sedot tangki septik yang membagikan kartu nama. Saya membayangkan dalam suatu business lunchion salah seorang yang bersetelan jas necis, well groomed, di meja makan menyodorkan kartu nama sedot WC dan menjelaskan bisnisnya kepada kenalan baru di meja makan.
Tentu saya pernah memanfaatkan sedot tangki septik. Ketika saya menelepon pemiliknya, dengan nomor dari sopir truk tangki, untuk menegosiasikan biaya ekstra, ternyata dia sedang bekerja di sebuah kantor di Jakarta.
Ada juga juragan sedot yang menjawab telepon saya sambil terkantuk-kantuk di rumah. Ya, dia bilang sedang di rumah lalu menggertak saya dengan membentak, “Bapak maunya apa? Dateng aja ke sini! Silakan kalo berani!”
Saat itu saya mengeluhkan anak buahnya yang menempelkan stiker di bagian dalam pintu gerbang rumah saya. Dari cara berkomunikasi, dia tampaknya bukan termasuk yang berpeluang hadir dalam perjamuan bisnis untuk bertukar kartu nama.