Apakah “porak-parik” merupakan kata baru? Tentu tidak. Apakah kata tersebut sering dipungut untuk tajuk berita? Tampaknya tidak.
Pilihan kata adalah sebuah seni dalam menulis. Sebagian media kurang berani, bahkan kurang suka memanfaatkan kekayaan bahasa Indonesia. Mereka bersedia melakukannya setelah suatu kata diterima luas karena media lain juga menerapkannya. Misalnya kata “berkelindan” dan “semenjana”.
Saya tergerak menulis ini setelah menemukan porak-parik dalam Koran Tempo (13/6/2024). Kemudian secara acak saya cari media lain yang memungut kata tersebut untuk judul. Ada. Misalnya Liputan 6 (5/5/2020) dan Amanah Sultra (21/7/2023).
Dahulu kala, sebelum ada media daring, gaya bahasa Pos Kota maupun Sinar Pagi (pun Sentana) itu berbeda dari Kompas, Bisnis Indonesia, Republika, Kontan, dan Tempo. Setiap penerbit dan redaksi tahu siapa pembacanya.
Kini, di ranah media berita daring bagaimana? Entah. Eh, saya malah menduga cara berbahasa beberapa media berita lebih mudah: ikuti saja gaya media sosial karena itulah bahasa yang hidup, tanpa berpusing diri dengan kaidah. Yang penting sama-sama paham. Juga: ramah Google.
Juga dahulu untuk kata serapan pun setiap media berbeda. Seingat saya — semoga salah, akan terbuktikan oleh arsip — sebelum 1997 Pos Kota dan Sinar Pagi tak pernah memakai kata “klarifikasi”.