Ketika tidak ingin ya biasa saja; bahagia tidak, sedih apalagi

Paling nikmat dan ringan itu karena kita tidak ingin. Masalahnya adalah sedang tidak ingin, ataukah tidak ingin selamanya?

▒ Lama baca 2 menit

Bir Saigon, kebanggaan Vietnam, masuk Indonesia

Saya sulit merumuskan perasaan saya saat ini terhadap minuman dan sebagian makanan. Tawar, barangkali itu kata yang pas.

Sudah sebulan ini, karena dalam pemulihan, saya hanya ingin minum air putih. Tak ada keinginan minum teh, kopi, bahkan Fanta Orange kesukaan saya pun saya abaikan — entah kalau besok. Pada awal sakit saya sempat ingin es krim. Setelah terpenuhi ya sudah.

Bir Saigon, kebanggaan Vietnam, masuk Indonesia

Soal keinginan. Selalu menjadi perbincangan spiritual. Mana yang kita butuhkan, mana yang kita inginkan, bagaimana mengelolanya, adalah tema abadi. Jika menyangkut apa yang masuk ke dalam tubuh, hal itu juga berkelindan dengan kesehatan.

Mengasap tembakau jelas lebih banyak mudaratnya. Tetapi para pelaku yakin tembakau membawa maslahat bagi dirinya. Saat ini tentu saya tak punya keinginan mengasap. Bahkan dalam keadaan normal pun saya bisa on-off. Tergantung keinginan. Kalau sedang tidak ingin ya tidak saya lakukan. Bisa setahun lebih.

Pernah, di tempat kerja terakhir, ketika saya masuk area mengasap ada yang bertanya ke mana saya beberapa hari terakhir karena tak ada di ruang itu. Saya malah lupa beberapa hari tidak mengasap karena tidak ingin.

Miras Gordon's London Dry Gin tanpa cukai Indonesia

Di kantor teman, saya ditunjukkan area merokok, dan saya hanya berterima kasih karena sedang tidak berselera merokok, bahkan mencium bau asapnya pun tak suka. Dia, bekas perokok sosial, heran, “Kok bisa?”

Soal asup mengasup ini bisa sederhana, bisa rumit: dalam hal apa, dan karena apa, kita tak memasukkan makanan, minuman, dan lainnya, ke dalam tubuh?

Lebih karena kesadaran terhadap kesehatan, karena perintah dokter dan ahli gizi disertai kawalan pasangan, karena kontrol oleh lingkungan, karena agama, atau lainnya?

Paling nikmat dan ringan itu karena kita tidak ingin. Masalahnya adalah sedang tidak ingin, seperti saya sekarang, ataukah tidak ingin selamanya?

Saya pernah selama seperempat abad tak makan durian karena tidak ingin, bahkan dapat baunya pun pusing. Dahulu, di Palmerah, kalau sejawat membeli durian untuk dimakan beramai-ramai, saya keluar, mengungsi, kadang menonton sendiri di bioskop Slipi atau ke toko kaset.

Kopi liberika Kojal, dari kebun di lahan gambut, Kayong Utara, Kalbar

Padahal sebelumnya saya doyan durian. Doyan dalam arti menurut bahasa Jawa: mau, tidak menolak, bukan amat gemar sampai berburu. Sekitar 2006, sudah beranak dua, tiba-tiba saya berpikir apakah istri saya hamil lagi karena saya tiba-tiba ingin si buah berduri. Dahulu kala, saat belum tahu bahwa istri saya hamil, saya punya keinginan aneh-aneh. Misalnya mencari asinan buah malam hari, untunglah di Circle K Tanjungduren, Jakbar, tersedia.

Untuk durian, untunglah di dekat tempat cuci mobil di Duren Sawit, Jaktim, wilayah yang tak saya akrabi, ada supermarket. Durian monthong kami makan berdua sambil menunggu mobil selesai dimandikan.

Kembali ke urusan sedang tidak ingin. Maksud saya, jika terhadap hal kurang atau tidak baik kalau berlebihan tentu baik. Selama sakit saya kurang berselera terhadap nasi. Hanya karena kebetulan, entah tersebab apa, saya bisa menghabiskan dua sendok nasi. Sampai hari ini saya makan bubur. Tak sebanyak anak sehat.

Menyangkut keinginan, syukurlah saya masih ingin sayuran dan buah, terutama buah yang berair. Telur, saya masih mau kalau kebetulan ada versi rebus, padahal ketika sehat saya lebih suka mata sapi.

Kopi liberika Kojal, dari kebun di lahan gambut, Kayong Utara, Kalbar

Masih soal keinginan tetapi saya sedang tidak ingin, hari ini ada buah tangan seperti dalam gambar. Untuk air api, dalam keadaan sehat pun saya bukan pecandu. Saya doyan dalam arti tadi, tidak menolak, dan itu pun tergantung keinginan.

Untuk biji kopi liberika, oleh-oleh dari desa lahan gambut di Kalbar, yang indikasi geografis kebunnya sudah terdaftar di Kemenkumham, nanti saja setelah saya ingin ngopi, entah kapan. Saat ini paling pas air putih.

Saya membayangkan orang purba zaman dulu hanya minum air putih. Orang modern yang hanya minum air putih, karena pilihan, mundur ke zaman jauh.

Tinggalkan Balasan