Tadi di warung saya melihat sesisir pisang kepok. Memang selalu ada, apalagi saat Ramadan begini, bisa untuk kolak selain pisang tanduk. Pisang kepok goreng juga enak, apalagi kalau agak mblonyot karena sudah keluar madunya.
Melihat pisang kepok saya teringat WhatsApp dari ibu saya belakangan. Beberapa kali Ibu mengirimkan foto pisang kepok hasil kebun sendiri. Sebetulnya bukan di kebun dalam arti di belakang rumah melainkan halaman di samping rumah kami di Klitren, Gondokusuman, Yogyakarta. Bahkan pohon pisang juga tumbuh di halaman depan samping, dekat pagar.
Kata Ibu, dirinya kecapaian mothèli atau memisahkan sisir demi sisir pisang dari tanda dengan pisau. Maklum sudah 91 tahun, katanya. Empat puluh tahun silam Ibu malah sanggup menebang batang pisang setelah mengambil pisang yang matang di pohon, sebagian sudah disikat codot, dan hampir selalu ada sarang burung dengan telur di antara sisir pisang, malah tak jarang ada anak-anak burung sehabis menetas.
Di Bekasi saya tak menanam pisang. Halaman rumah tak cukup. Para tetangga juga. Maka saya tak dapat lagi memetik pisang matang dari tandan yang telah diturunkan ke tanah, termasuk pisang kepok. Ya, pisang kepok mentah — maksud saya sudah matang tetapi belum dimasak —saya juga doyan.