Pagi tadi ketika akan menyapu guguran daun tanaman pagar, saya tersadarkan satu hal: plastik yang membungkus gagang bambu untuk sapu lidi itu sobek. Saya sebetulnya sudah tahu sejak dua pekan lalu namun tak memedulikan karena bungkus tersebut hanya terkoyak sedikit.
Seperti biasa lamunan saya ke mana-mana. Misalnya, dua puluh tahun lalu, seingat saya, tak ada gagang sapu yang berbalut plastik. Adapun plastik untuk memperkuat ikatan pada simpai (Jawa: suh) baru saya perhatikan tiga tahun silam.
Di blog ini beberapa kali saya menulis ihwal sapu lidi. Dari suara sapu menggesek tanah dan bidang beton atau aspal sehingga menjadi penanda waktu sampai tetangga yang sukarela menyapu jalan untuk gerak badan.
Sapu lidi adalah bagian dari keseharian kita karena lidi mudah didapatkan. Saya menduga setiap bangsa mengenal broomstick dengan bermacam bahan. Bahkan dongeng Barat mengenal kendaraan nenek sihir berupa sapu terbang.
Tetapi sapu lidi dalam kehidupan Indonesia modern, menurut seorang kawan, adalah barang sepele: belum tentu anak-anak dari generasi Z dan yang lebih muda tahu barang itu, apalagi menggunakannya.
Tentu saya tak sependapat. Dalam buku pelajaran juga ada. Di rumah dan sekolah mereka juga melihat orang menyapu halaman. Begitu pun di jalan setiap pagi. Malah di sekolah tertentu kadang ada kerja bakti.
Misalnya pun mereka tak tahu, masalahnya adalah kesadaran dan kepedulian. Janganlah ponsel dalam perjalanan dijadikan kambing hitam. Memang sih nada dering ponsel bisa diisi suara kambing mengembik.