Tafsir terhadap logo gaya 1970-an sebuah kedai

Logo modern lawasan Madukoro masih bertahan. Memancarkan spirit sebuah legasi. Apakah kelak akan diganti untuk rejuvenasi?

▒ Lama baca < 1 menit

Logo modern lawasan gaya 1970-an RM Madukoro

Melihat logo rumah makan Madukoro saya langsung terlempar ke masa lampau. Bukan soal jenama yang diapit oleh tanda kutip — suatu kelaziman pada gaya lama — melainkan pada tipografi. Logo Madukoro dikerjakan dengan tipografi buatan tangan. Dulu hal itu lumrah. Lihat saja logo koran-koran lawas.

Madukoro memang kedai lawas, berdiri di Sala, Jateng, pada 1967, kemudian pada 1989 membuka cabang di Jalan Raya Pondokgede, Jaktim, sekitar seratus meter dari perbatasan DKI dan Jabar.

Saya tak tahu apakah sejak awal logonya begitu. Kesan saya, logo besutan menggambar secara manual itu berlanggam awal 1970-an. Saya menduga begitu karena saat itu huruf tempel untuk pekerjaan grafis, yakni Letraset dan Mecanorma, belum mudah didapatkan.

Baru menjelang akhir dasawarsa itu muncul versi lokal berjenama Rugos, akronim huruf gosok, kalau tak salah bikinan Surabaya. Lalu pada medio 1980-an muncul Rugos VIP, lebih mahal, lebih halus, tidak berkilat, tanpa banyak jejak lem yang menangkap debu.

Membuat logo dengan tangan telanjang pada masa itu paralel dengan dengan kebiasaan para pembuat backdrop acara. Huruf dibuat satu per satu dari kertas, kemudian dipotong dan direkatkan pada bidang latar pentas.

Dulu Saat SMP sampai SMA saya kerap dimintai tolong mendekorasi backdrop. Untuk menempelkan huruf harus melibatkan benang pelurus horizontal agar huruf tak naik turun. Saya malas membuat tipografi standar, misalnya merujuk buku Mecanorma, karena harus memakai skala pada kertas besar. Solusinya? Tipografi karangan sendiri. Seperti gaya Madukoro itu. Tetapi bikinan saya jelek banget, ndak nyeni.

Pada era digital, semua urusan mudah. Bahkan kini latar pentas memakai layar LED besar. Cutting sticker pertama yang saya lihat adalah pada 1996, buatan teman saya Enrico Halim dari Aikon.

Kalimat dengan tinggi huruf setara sisi vertikal ponsel sekarang itu dia terapkan pada peraga pameran The Body Shop di Citraland Mall, Jakbar, yang kemudian menjadi Mal Ciputra. Saat itu stiker potong masih langka dan mahal. Baru mulai awal 2000-an layanan untuk itu mudah didapatkan.

Rumah makan Madukoro Jalan Raya Pondokgede
CABANG | Rumah makan Madukoro Jalan Raya Pondokgede, Cipayung, Jaktim. ° Foto: Yummy Advisor

3 Comments

junianto Senin 25 Maret 2024 ~ 16.28 Reply

Tentang rumah makannya, Madukoro, yang di Solo, sudah lama buanget saya (dan keluarga) tidak ke sana. Terakhir, jauh sebelum pandemi. Karena lokasinya yang relatif jauh dari rumah saya.

Setahu saya andalannya ayam goreng. Kalau pengin ayam goreng, banyak resto lain yang menyediakan yang lokasinya tak jauh dari rumah. Kalau pengin gudeg, ada banyak juga resto lain yang lebih dekat, dan ada satu resto yang rasa gudegnya lebih enak.

Pemilik Blog Senin 25 Maret 2024 ~ 20.40 Reply

Lha andalannya memang ayam goreng to?

junianto Senin 25 Maret 2024 ~ 21.07 Reply

Betooool. Saya agak meleng gara-gara lihat foto nota, Paman belinya gudeg, bukan ayam goreng, di resto yang andalannya ayam goreng.😁 Paman terpaksa dhing ya, gara-gara resto yang menjual gudeg saat Ramadan cuma Madukoro.

Tinggalkan Balasan