Sambal goreng krecek. Gudeg krecek. Saya suka. Rambak kulit, bukan rambak dari tepung, saya juga suka. Begitu pun terhadap karupuak jangek di rumah makan Padang yang diguyur kuah gulai.
Kompas.id kemarin (23/3/2024) menaikkan — bukan menurunkan —foto-foto tentang industri krecek untuk galeri rubrik Fotografi. Ada krecek sapi, ada krecek kerbau, di industri rumahan di Bantul, DIY, itu. Untuk krecek kerbau, kulitnya didatangkan dari Sulawesi.
Hari raya Idulfitri selain dihidangi ketupat, opor ayam, kadang juga dilengkapi sambel goreng ati krècèk. Keluarga saya kalau Natalan juga ada itu semua, meniru ibu, tetapi ketupat diganti lontong.
Krecek maupun rambak sama-sama terbuat dari kulit sapi. Ada juga yang dari kulit kerbau, setahu saya lebih gelap warnanya, ada sedikit rasa pahit — tetapi saya doyan. Foto jepretan saya di laman ini adalah rambak.
Lantas apa perbedaan krecek dan rambak? Krecek lebih tebal, kurang enak untuk digado, harus dilunakkan dalam rebusan bumbu bersantan.
Sedangkan rambak lebih tipis, setelah matang bisa diremas sehingga remuk, bisa digado, dan ketika diperlakukan sebagai krecek untuk gudeg atau sambel goreng maka rambak akan lumat, menjadikan kuah makin kental.
Makan rambak tanpa kuah tanpa minum akan membuat seret. Maka pada masa awal warung menyediakan wi-fi gratis — saat internet ponsel masih langka sehingga pengudap membawa laptop, tetapi mereka hanya memesan segelas teh sampai warung tutup tengah malam — saya membayangkan ada welcome snacks yang berupa rambak.
Kalau pengudap berbekal minuman sendiri itu tidak etis. Sudah memakai internet gratis masih pelit beli minuman lagi.
6 Comments
Nyam nyam, krauk!
Lalu sereten
Diglonggong, no.
Jadi ingat kejahatan menjelang Lebaran: daging sapi glonggongan 🙈
Dulu banyak muncul di daerah Boyolali.
Ampel, Boyolali, pusat abon, dendeng, waktu saya kecil ada petis sapi