Ehm, tanah seluas 1.400 meter persegi di area Keraton Yogyakarta. Saya menduga itu milik seorang bangsawan. Atau misalnya bukan priayi keraton, dia adalah pemilik kedua dan ketiga, namun asal muasal tanah dari seorang priyagung berderajat pangeran.
Pikiran itu muncul tadi pagi saat saya iseng membaca iklan baris di Kompas yang kavelingnya hanya setengah halaman. Padahal dahulu iklan baris dan iklan kolom pada masa keemasan koran cetak bisa ditempatkan lebih dari satu halaman, bahkan ada yang sehalaman penuh. Saya tadi mengamati iklan jual rumah. Bukan ingin membeli sih. Hamba sahaya tiada uang sinawang.
Ada pula iklan jual rumah dengan keterangan harga sekitar NJOP (nilai jual objek pajak). Secara gampangan NJOP adalah penetapan taksiran harga tanah oleh pemerintah sesuai rata-rata harga sekitar.
Tentang NJOP, saya teringat kisah Oom saya, orang Magelang, yang punya kebun di Jalan Osa Maliki, Salatiga, Jateng. Suatu hari saat dia mengawasi pekerja membersihkan kebun, seseorang mendatanginya, mengajak ngobrol, lalu menanyakan kira-kira tanah itu mau dijual dengan harga berapa.
Oom saya menyebutkan harga. Tentu lebih tinggi dari harga yang dia yakini berlaku. Beberapa bulan kemudian dia mendapatkan tagihan pajak bumi dan bangunan. NJOP sudah melonjak, tentu pajaknya juga.
“Ternyata orang pajak atau pemda, gitu,” kata Oom saya. Saya tak tahu apakah taksiran harga itu menguntungkan ataukah merugikan. Di atas tanah itu kemudian didirikan kantor pos.
Selain iklan jual rumah seharga kurang lebih NJOP, ada pula iklan jual rumah di Sawangan, Depok, Jabar, dengan catatan “bisa bayar ½”. Mungkin maksudnya pembeli boleh membayar separuh, sisanya menyusul sampai lunas.
Oh, saya teringat tawaran seorang jenderal saat saya mengakhiri masa menempati rumah dia yang saya kontrak dengan harga murah. Rupanya dia istrinya rajin menugasi orang mengamati rumah yang saya tempati selama empat tahun. Laporan anak buah mengatakan rumah tampak terawat dan semilak.
Maka Pak Jenderal, bintang dua, yang sudah memagari rumah itu secara gaib dengan bantuan orang pintar, menawarkan, “Lha ya sudah, Dik. Dibeli aja.”
Saya bilang tidak punya uang karena sudah habis untuk bikin rumah. Dia katakan, harga dan skema pembayaran bisa dirembuk sesuai kemampuan saya saat itu.
Sebelumnya, di garasi seberang rumahnya, saat saya menengok montir bekerja, dia menawari saya untuk membeli salah satu jip Mercy miliknya, bekas mobil kawal paspampres. Urusan bengkel bisa menumpang garasinya.
Waduh saya tidak punya uang, lagi pula misalnya berlebih uang saya tak akan beli jip Mercy. Akan terlalu mencolok dalam lingkungan tempat tinggal maupun pergaulan. Kalau diminta sumbangan lalu memberi sedikit akan dibatin dan akhirnya menjadi topik komunal.
2 Comments
Wah, andai dulu jip Mercy itu dibeli Paman, saya bisa ikut nampang keren dengan berpose dan dijepret di dekatnya.
Halah