Pagi berlangit biru dan gairah visual media sosial

Kita hidup dalam ledakan gambar. Maka soal sepele ihwal pagi cerah saya bagikan untuk merayakan kesementaraan hidup.

▒ Lama baca 2 menit

Pagi cerah berlangit biru di Chandra Baru, Jatirahayu, Pondokmelati, Bekasi

Pagi tadi pukul delapan cuaca cerah, langit biru bersih tanpa apungan kapas awan tipis di langit barat, barat laut, dan barat daya. Sungguh sebuah selingan setelah berhari-hari hujan dan mendung hadir bergantian.

Ah, apa istimewanya? Beda orang beda kesan. Tergantung suasana hati. Pun mungkin kesempatan.

Polder pada pagi cerah di Chandra Indah, Jatirahayu, Pondokmelati, Bekasi

Eh, apa tadi? Kesempatan? Meskipun langit biru, tak semua orang menyadari lalu menikmatinya karena masih ada kesibukan rutin dalam rumah.

Jangankan keluar dari halaman, melongok ke luar jendela pun belum tentu mata seseorang menangkap tebaran langit biru karena pandangannya terhalang teritis, pepohonan, dan bangunan tetangga.

Pagi cerah berlangit biru di Chandra Baru, Jatirahayu, Pondokmelati, Bekasi

Tetapi keterkungkungan dalam rumah terimbangi oleh ponsel dan televisi yang mewartakan gambar banjir merendam rumah hingga bagian atap, di tempat jauh yang sangat berjarak dengan diri kecuali ada kenalan dan saudara di sekitar wilayah bencana. Proksimitas fisik dan psikologis tak harus sama rentangnya.

Polder pada pagi cerah di Chandra Indah, Jatirahayu, Pondokmelati, Bekasi

Soal pagi cerah itu bisa penting bisa tidak karena bersifat personal. Dahulu sebelum ada media sosial dan ponsel pintar yang berkamera, satu-satunya pilihan berbagi kesan dan pengalaman hanya melalui SMS.

Sebelum ada ponsel, orang hanya mengabarkan secara lisan via telepon, atau menuliskannya dalam buku harian. Tetapi cara paling mudah adalah membatin saja. Lalu melupakannya. Wajar. Manusiawi.

Polder pada pagi cerah di Chandra Indah, Jatirahayu, Pondokmelati, Bekasi

Kini setelah ada media sosial di atas beragam pelantar, pengalaman dan kesan perihal pagi biru cerah dengan lekas dan mudah segera terbagikan dalam wujud gambar diam dan video.

Gambar hidup menjadi kelumrahan karena memang hidup: ada gerak dan suara. Dalam suara ada narasi lisan si pengirim gambar selayaknya reporter televisi maupun penyulih suara mengabarkan.

Pagi cerah berlangit biru di Chandra Baru, Jatirahayu, Pondokmelati, Bekasi

Ada yang lebih maju, berupa reportase langsung dengan memanfaatkan lensa kamera swafoto. Video call dapat dilakukan semua ponsel cergas. Langit biru menjadi latar kepala si penutur.

Belum pernah saya membayangkan ledakan informasi visual seperti sekarang. Gambar, berupa foto dan video, berhamburan berebut perhatian, namun tak semuanya melekat sampai meresap dalam memori kita. Coba periksalah, hari ini ponsel Anda menerima berapa MB bahkan GB konten visual serta audiovisual?

Ada 5,35 miliar orang di bumi, atau 66,2 persen dari jumlah umat manusia saat ini yang menggunakan internet. Orang-orang yang terhubung dengan orang lain itu mencapai 97 juta (¬ Datareportal, 2024).

Tetapi abaikanlah laporan berbasis statistik. Lihatlah sekeliling. Ada saja orang yang kurang memedulikan konten audiovisual dari media sosial karena mereka enggan merepoti diri dengan beraneka jalinan grup, celoteh tak berujung, dengan foto dan video yang terus menyeruak ke dalam ponsel, sehingga si alat menjadi tambun secara digital, bukan fisik. Nyatanya mereka bahagia.

Gambar-gambar dalam pos ini, yang saya jepret tadi pagi, pun segera terlupakan dalam hitungan menit. Bahkan saya sendiri pun tak lama lagi akan lupa.

Lalu kenapa saya berbagi tuturan teks dan gambar tentang pagi tadi? Saya merayakan ledakan visual. Merayakan kesementaraan karena hidup ini singkat.

2 Comments

junianto Selasa 19 Maret 2024 ~ 18.32 Reply

Terlepas dari ikhwal media sosial, Serengan juga cerah sejak tadi pagi hingga saya tulis komentar ini, sekitar 18.30.

Demikian, saya ikut berbagi tuturan teks tentang pagi tadi dan hari ini — meski sangat pendek.

Tinggalkan Balasan