Halte di trotoar. Wajar. Karena memang dirancang bagi penumpang untuk naik dan turun dari kendaraan umum. Masalahnya, masih adakah sisa ruang untuk pedestrian?
Lihatlah foto di atas, yang saya ambil Februari lalu, di Jalan Jakarta, Bandung, Jabar. Jika pejalan kaki tak ingin turun ke jalan aspal silakan menaiki tangga halte, melintas di dalam dengan berpunten kepada calon penumpang yang sedang duduk, lalu turun lagi dengan tangga, dan kembali menapaki trotoar.
Jika haltenya bukan berupa panggung, melainkan halte berlantai rendah, atapnya disangga tiang di belakang, pejalan kaki masih dapat terus melintasi trotoar. Tentu dengan trotoar sempit, halte bukan panggung saat dipenuhi pengguna angkutan umum akan menghalangi pejalan kaki.
Saya tak tahu riwayat trotoar di sana, sudah ada sejak zaman awal kemerdekaan ataukah merupakan trotoar baru. Nah, untuk halte itu, karena trotoarnya sempit, kenapa tak memanfaatkan lahan luas, berupa tanah lapang, milik swasta yakni pengembang Kiara Artha Park?
Saya mengandaikan, Pemkot Bandung dapat menyewa secuil tanah di sana. Atau meminjam dengan perjanjian. Jika perlu membelinya misalnya tanah lapang itu hak milik. Tujuannya agar trotoar tidak diokupasi halte panggung yang menyesuaikan diri dengan tinggi pintu bus kota.
Di Bandung terdapat banyak ahli tata kota. Bahkan Bandung pernah punya wali kota yang berlatar pendidikan perencanaan kota dari Universitas California di Berkeley, Amerika, kemudian menjadi gubernur Jabar: Ridwan Kamil.