Merek kerupuk udang stik ini menarik: cap Padi Kapas. Lho, bukannya itu biasa? Ya, tapi ingatan saya ke mana-mana. Misalnya ke lambang sila kelima Pancasila: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kata “seluruh” saya tulis miring supaya menonjol karena saya bertakzim kepada perumus kalimat yang ringkas namun luhur itu.
Padi kapas juga mengingatkan saya kepada lambang partai, misalnya Golkar. Padi dan kapas mengapit pohon beringin. Organisasi politik satu ini aneh, bermula dari Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) bentukan militer pada 1964, tetapi ikut pemilu sejak 1971 sampai 1997 padahal bukan partai, dan menguasai parlemen.
Golkar menjadi ruler’s party, bukan ruling party, lalu pasca-Reformasi menjadi partai (1999). Soeharto tak berkuasa lagi, Golkar mengubah label diri.
Frans Magnis-Suseno dalam artikel di Kompas pada awal Reformasi mengusulkan agar Golkar dinyatakan sebagai partai terlarang selama sekian tahun.
Nyatanya di bawah kendali Akbar Tanjung, dalam Pemilu 1999 yang diikuti 48 partai — bandingkan dengan pemilu Orba pasca-1971 yang diikuti tiga partai — Golkar menjadi juara kedua (22,44 persen suara), di bawah PDIP (33,74 persen), di atas PKB (12,61 persen).
Akbar memang politikus dan administrator ulung. Penyelamat partai cap beringin padi kapas itu kader lama, bukan baru masuk dua hari, dengan kartu anggota diantarkan oleh sejumlah elite partai ke rumahnya di Solo dari Jakarta, lalu jadi ketua umum.
Padi kapas juga mengingatkan saya kepada Yayasan Padi dan Kapas yang dibentuk oleh kelompok Sjahrir (1945—2008), pada 1980-an. Salah satu bentukan yayasan ini adalah Sekolah Ilmu Sosial (SIS), sebuah sekolah nirgelar.
Sebagai sekolah normal tentu mensyaratkan membaca, diskusi, dan menulis tanpa joki — bandingkan dengan skandal joki skripsi hingga disertasi dan jurnal (¬ arsip 2023). SIS tak terdaftar di Depdikbud melainkan Depnaker. Saat itu Sjahrir masih 42 tahun. Para calon murid diseleksi dengan wawancara. Belum pernah kuliah sampai 110 SKS pun boleh mendaftar.
Majalah Tempo edisi 12 Desember 1987 dalam laporannya membuat judul “Sekolah Gado-gado”. Intronya: “Yayasan Padi dan Kapas mendirikan Sekolah Ilmu Sosial (SIS). Tujuannya untuk memahami realitas sosial. Ajaran tahun pertama gratis. Christine Hakim masuk SIS. Pengajarnya orang-orang yang cukup dikenal.”
Termasuk “cukup dikenal” di luar Sjahrir antara lain Ignas Kleden, Arief Budiman, Emmanuel Subangun, Salim Said, Ibrahim Zakir, Daniel Dhakidae, Marsilam Simanjuntak, dan Rahman Tolleng. Rocky Gerung, saat itu 28, adalah kepala sekolah di sana.
Sjahrir, Rocky, dan Chatib Basri setelah Reformasi mendirikan Perhimpunan Indonesia Baru (PIB), yang kemudian menjadi Partai PIB pada 2002. Orang bilang ini PSI baru — bukan Partai Solidaritas Indonesia melainkan Partai Sosialis Indonesia. Ibu teman sebaya saya dulu terdaftar sebagai caleg di sana.
Beberapa bulan lalu saya menyebutkankan SIS selintas sejauh saya ingat. Seorang pria muda berkomentar, “Kalo sekarang ada Sekolah Jakarta macam itu, mungkin Seno Gumira, Martin Suryajaya, Made Supriatma, dan Ahmad Arsuka kalau masih hidup jadi pengajar?”
Saya terkesan oleh penamaan darinya: Sekolah Jakarta. Misalnya berkampus di Karet Belakang mungkin disebut Sekolah Karbela.
2 Comments
ini Rocky Gerung yang “itu”, paman?
Ya. Sejak dulu dia pintar dan menonjol.